Download Uu Atau Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Perihal Desa

UU NO. 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA sudah disahkan semenjak tanggal 15 Januari 2014 dan sekaligus berlaku semenjak tanggal diputuskan. Hal gres yang diatur dalam  UU NO. 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA antara lain terdapat pada pasal 31 ayat (1) Pemilihan Kepala Desa dilaksanakan secara sekaligus di seluruh wilayah Kabupaten/Kota. Pada Pasal 33 wacana calon kepala desa pada poin (l) ditetapkan bahwa calon kepala desa tidak pernah sebagai Kepala Desa selama 3 (tiga) kali masa jabatan. Ini berarti masa jabatan kepala desa paling usang 3 periode. Sedangan pada pasal 50 point (1) ditegaskan bahwa Perangkat Desa diangkat dari masyarakat Desa yang mempunyai pendidikan paling rendah sekolah menengah umum atau yang sederajat;
Bagi anda yang ingin mendownload UU NO. 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA silahkan klik link download di bawah ini.

LINK DOWNLOAD UU NO. 6TAHUN 2014 TENTANG DESA


Berikut ini kami tuliskan Salinan UU NO. 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA yang sudah disahkan semenjak tanggal 15 Januari 2014 dan sekaligus berlaku semenjak tanggal diputuskan.
Pasal 31
(1) Pemilihan Kepala Desa dilaksanakan secara sekaligus di seluruh wilayah Kabupaten/Kota.
Pasal 33 wacana calon kepala desa
l. tidak pernah sebagai Kepala Desa selama 3 (tiga) kali masa jabatan; dan
Pasal 50
Perangkat Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 diangkat dari masyarakat Desa yang memenuhi persyaratan:
a. berpendidikan paling rendah sekolah menengah umum atau yang sederajat;

 

Bagi ANDA yag ingin mendownload UU NO. 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA silahkan klik link dibawah ini.

LINK DOWNLOAD UU NO. 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA

 

SALINAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 2014
TENTANG
DESA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :

a. bahwa Desa mempunyai hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan

cita-cita kemerdekaan berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. bahwa dalam perjalanan ketatguagaraan Republik Indonesia, Desa sudah berkembang dalam aneka macam bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar

menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga sanggup membuat landasan yang berpengaruh dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat

yang adil, makmur, dan sejahtera;
c. bahwa Desa dalam susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan perlu diatur tersendiri dengan undang-undang;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam karakter a, karakter b, dan karakter c perlu membentuk Undang-Undang wacana Desa;
Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18B ayat (2), Pasal 20, dan Pasal 22D ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
melaluiataubersamaini Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA  DAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan              :  UNDANG-UNDANG TENTANG DESA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Desa ialah desa dan desa tabiat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, ialah kesatuan masyarakat aturan yang mempunyai batas

wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Pemerintahan Desa ialah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik

Indonesia.
3. Pemerintah Desa ialah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dimenolong perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa.

4. Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain ialah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya ialah wakil dari

penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan diputuskan secara demokratis.

5. Musyawarah Desa atau yang disebut dengan nama lain ialah musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang

diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa untuk menyepakati hal yang bersifat strategis.

6. Badan Usaha Milik Desa, yang selanjutnya disebut BUM Desa, ialah tubuh perjuangan yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui

penyertaan secara eksklusif yang berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan perjuangan lainnya untuk sebesar-besarnya

kesejahteraan masyarakat Desa.
7. Peraturan Desa ialah peraturan perundang-undangan yang diputuskan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disahkan bersama Badan Permusyawaratan Desa.
8. Pembangunan Desa ialah upaya peningkatan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa.

9. Kawasan Perdesaan ialah daerah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi daerah sebagai

tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

10. Keuangan Desa ialah tiruana hak dan kewajiban Desa yang sanggup dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang bekerjasama dengan

pelaksanaan hak dan kewajiban Desa.

11. Aset Desa ialah barang milik Desa yang berasal dari kekayaan orisinil Desa, dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa atau

perolehan hak lainnya yang sah.
12. Pemberdayaan Masyarakat Desa ialah upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi duduk kasus dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa.

13. Pemerintah Pusat selanjutnya disebut Pemerintah ialah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

14. Pemerintahan Daerah ialah Pemda dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan

tugas pemmenolongan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
15. Pemda ialah Gubernur, Bupati, atau Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
16. Menteri ialah menteri yang menangani Desa.
Pasal 2

Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, training kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan Pancasila,

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Pasal 3
Pengaturan Desa berasaskan:
a. rekognisi;
b. subsidiaritas;
c. keberagaman;
d. kebersamaan;
e. kegotongroyongan;
f. kekeluargaan;
g. musyawarah;
h. demokrasi;
i. kemandirian;
j. partisipasi;
k. kesetaraan;
l. pemberdayaan; dan
m. keberlanjutan.
Pasal 4
Pengaturan Desa bertujuan:

a. mempersembahkan ratifikasi dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik

Indonesia;

b. mempersembahkan kejelasan status dan kepastian aturan atas Desa dalam sistem ketatguagaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat

Indonesia;
c. melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa;
d. mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama;
e. membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawaban;
f. meningkatkan pelayanan publik bagi masyarakat masyarakat Desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum;

g. meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna mewujudkan masyarakat Desa yang bisa memelihara kesatuan sosial sebagai bab dari ketahanan

nasional;
h. memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi kesentidakboleh pembangunan nasional; dan
i. memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan.
BAB II
KEDUDUKAN DAN JENIS DESA
Bagian Kesatu
Kedudukan
Pasal 5
Desa berkedudukan di wilayah Kabupaten/Kota.

Bagian Kedua
Jenis Desa
Pasal 6
(1) Desa terdiri atas Desa dan Desa Adat.
(2) Penyebutan Desa atau Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diadaptasi dengan penyebutan yang berlaku di daerah setempat.
BAB III
PENATAAN DESA
Pasal 7
(1) Pemerintah, Pemda Provinsi, dan Pemda Kabupaten/Kota sanggup melaksanakan penataan Desa.

(2) Penataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan hasil penilaian tingkat perkembangan Pemerintahan Desa sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.
(3) Penataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan:
a. mewujudkan efektivitas penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
b. mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa;
c. mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik;
d. meningkatkan kualitas tata kelola Pemerintahan Desa; dan
e. meningkatkan daya saing Desa.
(4) Penataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pembentukan;
b. penghapusan;
c. penggabungan;
d. perubahan status; dan
e. penetapan Desa.
Pasal 8
(1) Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) karakter a ialah tindakan mengadakan Desa gres di luar Desa yang ada.
(2) Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diputuskan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan prakarsa masyarakat Desa, asal usul, tabiat istiadat, kondisi sosial budaya masyarakat Desa, serta kemampuan dan potensi Desa.
(3) Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:
a. batas usia Desa induk paling sedikit 5 (lima) tahun terhitung semenjak pembentukan;
b. jumlah penduduk, yaitu:
1) wilayah Jawa paling sedikit 6.000 (enam ribu) jiwa atau 1.200 (seribu dua ratus) kepala keluarga;
2) wilayah Bali paling sedikit 5.000 (lima ribu) jiwa atau 1.000 (seribu) kepala keluarga;
3) wilayah Sumatera paling sedikit 4.000 (empat ribu) jiwa atau 800 (delapan ratus) kepala keluarga;
4) wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara paling sedikit 3.000 (tiga ribu) jiwa atau 600 (enam ratus) kepala keluarga;
5) wilayah Nusa Tenggara Barat paling sedikit 2.500 (dua ribu lima ratus) jiwa atau 500 (lima ratus) kepala keluarga;

6) wilayah Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan Kalimantan Selatan paling sedikit 2.000 (dua ribu) jiwa atau 400 (empat

ratus) kepala keluarga;

7) wilayah Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Utara paling sedikit 1.500 (seribu lima ratus) jiwa atau 300 (tiga ratus)

kepala keluarga;
8) wilayah Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Maluku Utara paling sedikit 1.000 (seribu) jiwa atau 200 (dua ratus) kepala keluarga; dan
9) wilayah Papua dan Papua Barat paling sedikit 500 (lima ratus) jiwa atau 100 (seratus) kepala keluarga.
c. wilayah kerja yang mempunyai saluran transportasi antarwilayah;
d. sosial budaya yang sanggup membuat kerukunan hidup bermasyarakat sesuai dengan tabiat istiadat Desa;
e. mempunyai potensi yang mencakup sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya ekonomi pendukung;
f. batas wilayah Desa yang ditetapkan dalam bentuk peta Desa yang sudah diputuskan dalam peraturan Bupati/Walikota;
g. masukana dan pramasukana bagi Pemerintahan Desa dan pelayanan publik; dan

h. tersedianya dana operasional, penghasilan tetap, dan tuntidakboleh lainnya bagi perangkat Pemerintah Desa sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

(4) Dalam wilayah Desa dibuat dusun atau yang disebut dengan nama lain yang diadaptasi dengan asal usul, tabiat istiadat, dan nilai sosial budaya

masyarakat Desa.
(5) Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Desa persiapan.
(6) Desa persiapan ialah bab dari wilayah Desa induk.
(7) Desa persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) sanggup ditingkatkan statusnya menjadi Desa dalam jangka waktu 1 (satu) hingga 3 (tiga) tahun.
(8) Peningkatan status sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilaksanakan berdasarkan hasil evaluasi.
Pasal 9
Desa sanggup dihapus lantaran petaka dan/atau kepentingan kegiatan nasional yang strategis.
Pasal 10

Dua Desa atau lebih yang berbatasan sanggup digabung menjadi Desa gres berdasarkan kesepakatan Desa yang bersangkutan dengan memperhatikan persyaratan yang

ditentukan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 11

(1) Desa sanggup berubah status menjadi kelurahan berdasarkan prakarsa Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa melalui Musyawarah Desa dengan

memperhatikan masukan dan pendapat masyarakat Desa.
(2) Seluruh barang milik Desa dan sumber pendapatan Desa yang menjelma kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi kekayaan/aset Pemda Kabupaten/Kota yang dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kelurahan tersebut dan pendanaan kelurahan dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal 12
(1) Pemda Kabupaten/Kota sanggup mengubah status kelurahan menjadi Desa berdasarkan prakarsa masyarakat dan memenuhi persyaratan yang ditentukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Kelurahan yang berubah status menjadi Desa, masukana dan pramasukana menjadi milik Desa dan dikelola oleh Desa yang bersangkutan untuk kepentingan

masyarakat Desa.
(3) Pendanaan perubahan status kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal 13
Pemerintah sanggup memprakarsai pembentukan Desa di daerah yang bersifat khusus dan strategis bagi kepentingan nasional.
Pasal 14

Pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau perubahan status Desa menjadi kelurahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal

11 atau kelurahan menjadi Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 diputuskan dalam Peraturan Daerah.
Pasal 15

(1) Rancangan Peraturan Daerah wacana pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau perubahan status Desa menjadi kelurahan atau kelurahan menjadi Desa

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang sudah mendapatkan persetujuan bersama Bupati/Walikota dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diajukan kepada Gubernur.

(2) Gubernur melaksanakan penilaian Rancangan Peraturan Daerah wacana pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau perubahan status Desa menjadi kelurahan

atau kelurahan menjadi Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan urgensi, kepentingan nasional, kepentingan daerah, kepentingan masyarakat Desa,

dan/atau peraturan perundang-undangan.
Pasal 16

(1) Gubernur menyatakan persetujuan terhadap Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 paling usang 20 (dua puluh) hari sesudah

menerima Rancangan Peraturan Daerah.

(2) Dalam hal Gubernur mempersembahkan persetujuan atas Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemda Kabupaten/Kota

melakukan penyempurnaan dan penetapan menjadi Peraturan Daerah paling usang 20 (dua puluh) hari.
(3) Dalam hal Gubernur menolak mempersembahkan persetujuan terhadap Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Rancangan Peraturan Daerah tersebut tidak sanggup disahkan dan tidak sanggup diajukan kembali dalam waktu 5 (lima) tahun setelah penolakan oleh Gubernur.

(4) Dalam hal Gubernur tidak mempersembahkan persetujuan atau tidak mempersembahkan penolakan terhadap Rancangan Peraturan Daerah yang dimaksud dalam Pasal 15 dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bupati/Walikota sanggup mengesahkan Rancangan Peraturan Daerah tersebut serta sekretaris daerah

mengundangkannya dalam Lembaran Daerah.

(5) Dalam hal Bupati/Walikota tidak memutuskan Rancangan Peraturan Daerah yang sudah disetujui oleh Gubernur, Rancangan Peraturan Daerah tersebut dalam

jangka waktu 20 (dua puluh) hari setelah tanggal persetujuan Gubernur ditetapkan berlaku dengan sendirinya.
Pasal 17
(1) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota wacana pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan perubahan status Desa menjadi kelurahan atau kelurahan menjadi Desa diundangkan setelah mendapat nomor pendaftaran dari Gubernur dan instruksi Desa dari Menteri.
(2) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai lampiran peta batas wilayah Desa.
BAB IV
KEWENANGAN DESA
Pasal 18

Kewenangan Desa mencakup kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, training kemasyarakatan Desa, dan

pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan tabiat istiadat Desa.
Pasal 19
Kewenangan Desa meliputi:
a. kewenangan berdasarkan hak asal usul;
b. kewenangan lokal berskala Desa;
c. kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemda Provinsi, atau Pemda Kabupaten/Kota; dan

d. kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemda Provinsi, atau Pemda Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.
Pasal 20

Pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 karakter a dan karakter b diatur dan

diurus oleh Desa.
Pasal 21

Pelaksanaan kewenangan yang ditugaskan dan pelaksanaan kewenangan kiprah lain dari Pemerintah, Pemda Provinsi, atau Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 karakter c dan karakter d diurus oleh Desa.
Pasal 22
(1) Penugasan dari Pemerintah dan/atau Pemda kepada Desa mencakup penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, training kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.
(2) Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai biaya.

BAB V

PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA
Pasal 23
Pemerintahan Desa diselenggarakan oleh Pemerintah Desa.
Pasal 24
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa berdasarkan asas:
a. kepastian hukum;
b. tertib penyelenggaraan pemerintahan;
c. tertib kepentingan umum;
d. keterbukaan;
e. proporsionalitas;
f. profesionalitas;
g. akuntabilitas;
h. efektivitas dan efisiensi;
i. kearifan lokal;
j. keberagaman; dan
k. partisipatif.
Bagian Kesatu
Pemerintah Desa
Pasal 25

Pemerintah Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ialah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dan yang dimenolong oleh perangkat Desa atau yang

disebut dengan nama lain.
Bagian Kedua
Kepala Desa
Pasal 26

(1) Kepala Desa bertugas menyelenggarakan Pemerintahan Desa, melaksanakan Pembangunan Desa, training kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat

Desa.
(2) Dalam melaksanakan kiprah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa berwenang:
a. memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
b. mengangkat dan memberhentikan perangkat Desa;
c. memegang kekuasaan pengelolaan Keuangan dan Aset Desa;
d. memutuskan Peraturan Desa;
e. memutuskan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa;
f. membina kehidupan masyarakat Desa;
g. membina ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa;

h. membina dan meningkatkan perekonomian Desa serta mengintegrasikannya supaya mencapai perekonomian skala produktif untuk sebesar-besarnya kemakmuran

masyarakat Desa;
i. mengembangkan sumber pendapatan Desa;
j. mengusulkan dan mendapatkan pelimpahan sebagian kekayaan negara guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa;
k. mengembangkan kehidupan sosial budaya masyarakat Desa;
l. memanfaatkan teknologi sempurna guna;
m. mengoordinasikan Pembangunan Desa secara partisipatif;
n. mewakili Desa di dalam dan di luar pengadilan atau menunjuk kuasa aturan untuk mewakilinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
o. melaksanakan wewenang lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam melaksanakan kiprah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa berhak:
a. mengusulkan struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa;
b. mengajukan rancangan dan memutuskan Peraturan Desa;
c. mendapatkan penghasilan tetap setiap bulan, tuntidakboleh, dan penerimaan lainnya yang sah, serta mendapat jaminan kesehatan;
d. mendapatkan pelindungan aturan atas kebijakan yang dilaksanakan; dan
e. mempersembahkan mandat pelaksanaan kiprah dan kewajiban lainnya kepada perangkat Desa.
(4) Dalam melaksanakan kiprah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa berkewajiban:

a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara

keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;
b. meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa;
c. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa;
d. menaati dan menegakkan peraturan perundang-undangan;
e. melaksanakan kehidupan demokrasi dan berkeadilan gender;

f. melaksanakan prinsip tata Pemerintahan Desa yang akuntabel, transparan, profesional, efektif dan efisien, membersihkan, serta bebas dari kolusi, korupsi, dan

nepotisme;
g. menjalin kolaborasi dan koordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan di Desa;
h. menyelenggarakan manajemen Pemerintahan Desa yang baik;
i. mengelola Keuangan dan Aset Desa;
j. melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Desa;
k. menuntaskan perselisihan masyarakat di Desa;
l. mengembangkan perekonomian masyarakat Desa;
m. membina dan melestarikan nilai sosial budaya masyarakat Desa;
n. memberdayakan masyarakat dan lembaga kemasyarakatan di Desa;
o. mengembangkan potensi sumber daya alam dan melestarikan lingkungan hidup; dan
p. mempersembahkan informasi kepada masyarakat Desa.
Pasal 27
Dalam melaksanakan tugas, kewenangan, hak, dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Kepala Desa wajib:
a. memberikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Desa setiap simpulan tahun anggaran kepada Bupati/Walikota;
b. memberikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Desa pada simpulan masa jabatan kepada Bupati/Walikota;
c. mempersembahkan laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis kepada Badan Permusyawaratan Desa setiap simpulan tahun anggaran; dan
d. mempersembahkan dan/atau membuatkan informasi penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis kepada masyarakat Desa setiap simpulan tahun anggaran.
Pasal 28

(1) Kepala Desa yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) dan Pasal 27 dikenai hukuman administratif berupa teguran

lisan dan/atau teguran tertulis.

(2) Dalam hal hukuman administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan sanggup dilanjutkan

dengan pemberhentian.
Pasal 29
Kepala Desa dilarang:
a. merugikan kepentingan umum;
b. membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain, dan/atau golongan tertentu;
c. menyalahgunakan wewenang, tugas, hak, dan/atau kewajibannya;
d. melaksanakan tindakan diskriminatif terhadap masyarakat dan/atau golongan masyarakat tertentu;
e. melaksanakan tindakan meresahkan sekelompok masyarakat Desa;

f. melaksanakan kolusi, korupsi, dan nepotisme, mendapatkan uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang sanggup memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan

dilakukannya;
g. menjadi pengurus partai politik;
h. menjadi anggota dan/atau pengurus organisasi terlarang;

i. merangkap jabatan sebagai ketua dan/atau anggota Badan Permusyawaratan Desa, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah

Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, dan jabatan lain yang ditentukan dalam

peraturan perundangan-undangan;
j. ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah;
k. melanggar sumpah/janji jabatan; dan
l. meninggalkan kiprah selama 30 (tiga puluh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang terang dan tidak sanggup dipertanggungjawabankan.
Pasal 30
(1) Kepala Desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dikenai hukuman administratif berupa teguran ekspresi dan/atau teguran tertulis.

(2) Dalam hal hukuman administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan sanggup dilanjutkan

dengan pemberhentian.
Bagian Ketiga
Pemilihan Kepala Desa
Pasal 31
(1) Pemilihan Kepala Desa dilaksanakan secara sekaligus di seluruh wilayah Kabupaten/Kota.
(2) Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota memutuskan kebijakan pelaksanaan pemilihan Kepala Desa secara sekaligus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

(3) Ketentuan lebih lanjut terkena tata cara pemilihan Kepala Desa sekaligus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan

Peraturan Pemerintah.
Pasal 32
(1) Badan Permusyawaratan Desa memdiberitahukan kepada Kepala Desa terkena akan berakhirnya masa jabatan Kepala Desa secara tertulis 6 (enam) bulan sebelum masa jabatannya berakhir.
(2) Badan Permusyawaratan Desa membentuk panitia pemilihan Kepala Desa.
(3) Panitia pemilihan Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat berdikari dan tidak memihak.
(4) Panitia pemilihan Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas unsur perangkat Desa, lembaga kemasyarakatan, dan tokoh masyarakat Desa.
Pasal 33
Calon Kepala Desa wajib memenuhi persyaratan:
a. masyarakat negara Republik Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika;
d. berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah pertama atau sederajat;
e. berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun pada ketika mendaftar;
f. bersedia dicalonkan menjadi Kepala Desa;
g. terdaftar sebagai penduduk dan bertempat tinggal di Desa setempat paling kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran;
h. tidak sedang menjalani eksekusi pidana penjara;

i. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan aturan tetap lantaran melaksanakan tindak pidana yang

diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali 5 (lima) tahun setelah selesai menjalani pidana penjara dan mengumumkan

secara jujur dan terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan pernah dipidana serta bukan sebagai pelaku kejahatan berulang-ulang;
j. tidak sedang dicabut hak pilihnya sesuai dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan aturan tetap;
k. berbadan sehat;
l. tidak pernah sebagai Kepala Desa selama 3 (tiga) kali masa jabatan; dan
m. syarat lain yang diatur dalam Peraturan Daerah.

Pasal 34
(1) Kepala Desa dipilih eksklusif oleh penduduk Desa.
(2) Pemilihan Kepala Desa bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
(3) Pemilihan Kepala Desa dilaksanakan melalui tahap pencalonan, pemungutan suara, dan penetapan.
(4) Dalam melaksanakan pemilihan Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibuat panitia pemilihan Kepala Desa.

(5) Panitia pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bertugas mengadakan penjaenteng dan penyaenteng bakal calon berdasarkan persyaratan yang

ditentukan, melaksanakan pemungutan suara, memutuskan calon Kepala Desa terpilih, dan melaporkan pelaksanaan pemilihan Kepala Desa.
(6) Biaya pemilihan Kepala Desa dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal 35

Penduduk Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) yang pada hari pemungutan bunyi pemilihan Kepala Desa sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau

sudah/pernah berkeluarga diputuskan sebagai pemilih.
Pasal 36

(1) Bakal calon Kepala Desa yang sudah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 diputuskan sebagai calon Kepala Desa oleh panitia pemilihan

Kepala Desa.
(2) Calon Kepala Desa yang sudah diputuskan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan kepada masyarakat Desa di tempat umum sesuai dengan kondisi social budaya masyarakat Desa.
(3) Calon Kepala Desa sanggup melaksanakan kampanye sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Desa dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 37
(1) Calon Kepala Desa yang ditetapkan terpilih ialah calon yang memperoleh bunyi terbanyak.
(2) Panitia pemilihan Kepala Desa memutuskan calon Kepala Desa terpilih.

(3) Panitia pemilihan Kepala Desa memberikan nama calon Kepala Desa terpilih kepada Badan Permusyawaratan Desa paling usang 7 (tujuh) hari sesudah

penetapan calon Kepala Desa terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

(4) Badan Permusyawaratan Desa paling usang 7 (tujuh) hari setelah mendapatkan laporan panitia pemilihan memberikan nama calon Kepala Desa terpilih kepada

Bupati/Walikota.

(5) Bupati/Walikota mengesahkan calon Kepala Desa terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi Kepala Desa paling usang 30 (tiga puluh) hari sejak

tanggal diterimanya penyampaian hasil pemilihan dari panitia pemilihan Kepala Desa dalam bentuk keputusan Bupati/Walikota.

(6) Dalam hal terjadi perselisihan hasil pemilihan Kepala Desa, Bupati/Walikota wajib menuntaskan perselisihan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud

pada ayat (5).
Pasal 38
(1) Calon Kepala Desa terpilih dilantik oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk paling usang 30 (tiga puluh) hari setelah penerbitan keputusan Bupati/Walikota.
(2) Sebelum memangku jabatannya, Kepala Desa terpilih bersumpah/berjanji.
(3) Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagai diberikut:

"Demi Allah/Tuhan, saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya selaku Kepala Desa dengan sebaik-baiknya, sejujur-jujurnya, dan

seadil-adilnya; bahwa saya akan selalu taat dalam mengamalkan dan mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara; dan bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta melaksanakan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya yang berlaku bagi Desa, daerah, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia".
Pasal 39
(1) Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung semenjak tanggal pelantikan.
(2) Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sanggup menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.
Bagian Keempat
Pemberhentian Kepala Desa
Pasal 40
(1) Kepala Desa berhenti karena:
a. meninggal dunia;
b. seruan sendiri; atau
c. diberhentikan.
(2) Kepala Desa diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) karakter c karena:
a. berakhir masa jabatannya;
b. tidak sanggup melaksanakan kiprah secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan;
c. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon Kepala Desa; atau
d. melanggar larangan sebagai Kepala Desa.
(3) Pemberhentian Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diputuskan oleh Bupati/Walikota.
(4) Ketentuan lebih lanjut terkena pemberhentian Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 41

Kepala Desa diberhentikan sementara oleh Bupati/Walikota setelah ditetapkan sebagai terdakwa yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)

tahun berdasarkan register kasus di pengadilan.
Pasal 42
Kepala Desa diberhentikan sementara oleh Bupati/Walikota setelah diputuskan sebagai tersangka dalam tindak pidana korupsi, terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara.
Pasal 43

Kepala Desa yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42 diberhentikan oleh Bupati/Walikota setelah ditetapkan sebagai

terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan aturan tetap.
Pasal 44

(1) Kepala Desa yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42 setelah melalui proses peradilan ternyata terbukti tidak

bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan aturan tetap, paling usang 30 (tiga puluh) hari semenjak penetapan putusan pengadilan

diterima oleh Kepala Desa, Bupati/Walikota merehabilitasi dan mengaktifkan kembali Kepala Desa yang bersangkutan sebagai Kepala Desa hingga dengan simpulan masa jabatannya.

(2) Apabila Kepala Desa yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah berakhir masa jabatannya, Bupati/Walikota harus

merehabilitasi nama baik Kepala Desa yang bersangkutan.
Pasal 45

Dalam hal Kepala Desa diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42, sekretaris Desa melaksanakan kiprah dan kewajiban Kepala

Desa hingga dengan adanya putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan aturan tetap.
Pasal 46

(1) Dalam hal sisa masa jabatan Kepala Desa yang diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 tidak lebih dari 1 (satu) tahun, Bupati/Walikota

mengangkat pegawai negeri sipil dari Pemda Kabupaten/Kota sebagai penjabat Kepala Desa hingga dengan terpilihnya Kepala Desa.
(2) Penjabat Kepala Desa melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban, dan hak Kepala Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26.
Pasal 47

(1) Dalam hal sisa masa jabatan Kepala Desa yang diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 lebih dari 1 (satu) tahun, Bupati/Walikota mengangkat

pegawai negeri sipil dari Pemda Kabupaten/Kota sebagai penjabat Kepala Desa.

(2) Penjabat Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban, dan hak Kepala Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal

26 hingga dengan diputuskannya Kepala Desa.
(3) Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipilih melalui Musyawarah Desa yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33.
(4) Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan paling usang 6 (enam) bulan semenjak Kepala Desa diberhentikan.

(5) Kepala Desa yang dipilih melalui Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melaksanakan kiprah Kepala Desa hingga habis sisa masa jabatan

Kepala Desa yang diberhentikan.
(6) Ketentuan lebih lanjut terkena Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Perangkat Desa
Pasal 48
Perangkat Desa terdiri atas:
a. sekretariat Desa;
b. pelaksana kewilayahan; dan
c. pelaksana teknis.
Pasal 49
(1) Perangkat Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 bertugas memmenolong Kepala Desa dalam melaksanakan kiprah dan wewenangnya.
(2) Perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Kepala Desa setelah dikonsultasikan dengan Camat atas nama Bupati/Walikota.
(3) Dalam melaksanakan kiprah dan wewenangnya, perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawaban kepada Kepala Desa.
Pasal 50
(1) Perangkat Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 diangkat dari masyarakat Desa yang memenuhi persyaratan:
a. berpendidikan paling rendah sekolah menengah umum atau yang sederajat;
b. berusia 20 (dua puluh) tahun hingga dengan 42 (empat puluh dua) tahun;
c. terdaftar sebagai penduduk Desa dan bertempat tinggal di Desa paling kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran; dan
d. syarat lain yang ditentukan dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

(2) Ketentuan lebih lanjut terkena perangkat Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, Pasal 49, dan Pasal 50 ayat (1) diatur dalam Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Pasal 51
Perangkat Desa dilarang:
a. merugikan kepentingan umum;
b. membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain, dan/atau golongan tertentu;
c. menyalahgunakan wewenang, tugas, hak, dan/atau kewajibannya;
d. melaksanakan tindakan diskriminatif terhadap masyarakat dan/atau golongan masyarakat tertentu;
e. melaksanakan tindakan meresahkan sekelompok masyarakat Desa;

f. melaksanakan kolusi, korupsi, dan nepotisme, mendapatkan uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang sanggup memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan

dilakukannya;
g. menjadi pengurus partai politik;
h. menjadi anggota dan/atau pengurus organisasi terlarang;

i. merangkap jabatan sebagai ketua dan/atau anggota Badan Permusyawaratan Desa, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah

Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, dan jabatan lain yang ditentukan dalam

peraturan perundangan-undangan;
j. ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah;
k. melanggar sumpah/janji jabatan; dan
l. meninggalkan kiprah selama 60 (enam puluh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang terang dan tidak sanggup dipertanggungjawabankan.
Pasal 52
(1) Perangkat Desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dikenai hukuman administratif berupa teguran ekspresi dan/atau teguran tertulis.

(2) Dalam hal hukuman administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan sanggup dilanjutkan

dengan pemberhentian.
Pasal 53
(1) Perangkat Desa berhenti karena:
a. meninggal dunia;
b. seruan sendiri; atau
c. diberhentikan.
(2) Perangkat Desa yang diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) karakter c karena:
a. usia sudah genap 60 (enam puluh) tahun;
b. berhalangan tetap;
c. tidak lagi memenuhi syarat sebagai perangkat Desa; atau
d. melanggar larangan sebagai perangkat Desa.

(3) Pemberhentian perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diputuskan oleh Kepala Desa setelah dikonsultasikan dengan Camat atas nama

Bupati/Walikota.
(4) Ketentuan lebih lanjut terkena pemberhentian perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam
Musyawarah Desa
Pasal 54

(1) Musyawarah Desa ialah lembaga permusyawaratan yang diikuti oleh Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat Desa untuk

memusyawarahkan hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
(2) Hal yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penataan Desa;
b. perencanaan Desa;
c. kolaborasi Desa;
d. planning investasi yang masuk ke Desa;
e. pembentukan BUM Desa;
f. penambahan dan pelepasan Aset Desa; dan
g. insiden luar biasa.
(3) Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling kurang sekali dalam 1 (satu) tahun.
(4) Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
Bagian Ketujuh
Badan Permusyawaratan Desa
Pasal 55
Badan Permusyawaratan Desa mempunyai fungsi:
a. mengulas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa;
b. menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa; dan
c. melaksanakan pengawasan kinerja Kepala Desa.
Pasal 56
(1) Anggota Badan Permusyawaratan Desa ialah wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah yang pengisiannya dilakukan secara demokratis.
(2) Masa keanggotaan Badan Permusyawaratan Desa selama 6 (enam) tahun terhitung semenjak tanggal pengucapan sumpah/janji.

(3) Anggota Badan Permusyawaratan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sanggup dipilih untuk masa keanggotaan paling banyak 3 (tiga) kali secara

berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.
Pasal 57
Persyaratan calon anggota Badan Permusyawaratan Desa adalah:
a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

b. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara

keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika;
c. berusia paling rendah 20 (dua puluh) tahun atau sudah/pernah berkeluarga;
d. berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah pertama atau sederajat;
e. bukan sebagai perangkat Pemerintah Desa;
f. bersedia dicalonkan menjadi anggota Badan Permusyawaratan Desa; dan
g. wakil penduduk Desa yang dipilih secara demokratis.
Pasal 58

(1) Jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa diputuskan dengan jumlah gasal, paling sedikit 5 (lima) orang dan paling banyak 9 (sembilan) orang, dengan

memperhatikan wilayah, perempuan, penduduk, dan kemampuan Keuangan Desa.
(2) Peresmian anggota Badan Permusyawaratan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diputuskan dengan keputusan Bupati/Walikota.
(3) Anggota Badan Permusyawaratan Desa sebelum memangku jabatannya bersumpah/berjanji secara bahu-membahu di hadapan masyarakat dan dipandu oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk.
(4) Susunan kata sumpah/janji anggota Badan Permusyawaratan Desa sebagai diberikut:
"Demi Allah/Tuhan, saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya selaku anggota Badan Permusyawaratan Desa dengan sebaik-baiknya, sejujur-jujurnya, dan seadil-adilnya; bahwa saya akan selalu taat dalam mengamalkan dan mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara, dan bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta melaksanakan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya yang berlaku bagi Desa, daerah, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia".
Pasal 59
(1) Pimpinan Badan Permusyawaratan Desa terdiri atas 1 (satu) orang ketua, 1 (satu) orang wakil ketua, dan 1 (satu) orang sekretaris.

(2) Pimpinan Badan Permusyawaratan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan oleh anggota Badan Permusyawaratan Desa secara eksklusif dalam

rapat Badan Permusyawaratan Desa yang diadakan secara khusus.
(3) Rapat pemilihan pimpinan Badan Permusyawaratan Desa untuk pertama kali dipimpin oleh anggota tertua dan dimenolong oleh anggota termuda.
Pasal 60
Badan Permusyawaratan Desa menyusun peraturan tata tertib Badan Permusyawaratan Desa.
Pasal 61
Badan Permusyawaratan Desa berhak:
a. mengawasi dan meminta keterangan wacana penyelenggaraan Pemerintahan Desa kepada Pemerintah Desa;

b. menyatakan pendapat atas penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, training kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat

Desa; dan
c. mendapatkan biaya operasional pelaksanaan kiprah dan fungsinya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
Pasal 62
Anggota Badan Permusyawaratan Desa berhak:
a. mengajukan usul rancangan Peraturan Desa;
b. mengajukan pertanyaan;
c. memberikan usul dan/atau pendapat;
d. menentukan dan dipilih; dan
e. mendapat tuntidakboleh dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
Pasal 63
Anggota Badan Permusyawaratan Desa wajib:

a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara

keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika;
b. melaksanakan kehidupan demokrasi yang berkeadilan gender dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
c. menyerap, menampung, menghimpun, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat Desa;
d. menlampaukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan/atau golongan;
e. menghormati nilai sosial budaya dan tabiat istiadat masyarakat Desa; dan
f. menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga kemasyarakatan Desa.
Pasal 64
Anggota Badan Permusyawaratan Desa dilarang:
a. merugikan kepentingan umum, meresahkan sekelompok masyarakat Desa, dan mendiskriminasikan masyarakat atau golongan masyarakat Desa;

b. melaksanakan korupsi, kolusi, dan nepotisme, mendapatkan uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang sanggup memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan

dilakukannya;
c. menyalahgunakan wewenang;
d. melanggar sumpah/janji jabatan;
e. merangkap jabatan sebagai Kepala Desa dan perangkat Desa;

f. merangkap sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Provinsi atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, dan jabatan lain yang ditentukan dalam peraturan perundangan-undangan;
g. sebagai pelaksana proyek Desa;
h. menjadi pengurus partai politik; dan/atau
i. menjadi anggota dan/atau pengurus organisasi terlarang.
Pasal 65
(1) Mekanisme musyawarah Badan Permusyawaratan Desa sebagai diberikut:
a. musyawarah Badan Permusyawaratan Desa dipimpin oleh pimpinan Badan Permusyawaratan Desa;

b. musyawarah Badan Permusyawaratan Desa ditetapkan sah apabila dihadiri oleh paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota

Badan Permusyawaratan Desa;
c. pengambilan keputusan dilakukan dengan cara musyawarah guna mencapai mufakat;
d. apabila musyawarah mufakat tidak tercapai, pengambilan keputusan dilakukan dengan cara pemungutan suara;

e. pemungutan bunyi sebagaimana dimaksud dalam karakter d ditetapkan sah apabila disetujui oleh paling sedikit ½ (satu perdua) ditambah 1 (satu) dari

jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa yang hadir; dan

f. hasil musyawarah Badan Permusyawaratan Desa diputuskan dengan keputusan Badan Permusyawaratan Desa dan dilampiri notulen musyawarah yang dibuat oleh

sekretaris Badan Permusyawaratan Desa.
(2) Ketentuan lebih lanjut terkena Badan Permusyawaratan Desa diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Bagian Kedelapan
Penghasilan Pemerintah Desa
Pasal 66
(1) Kepala Desa dan perangkat Desa memperoleh penghasilan tetap setiap bulan.

(2) Penghasilan tetap Kepala Desa dan perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari dana perimbangan dalam Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara yang diterima oleh Kabupaten/Kota dan diputuskan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.

(3) Selain penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa dan perangkat Desa mendapatkan tuntidakboleh yang bersumber dari Anggaran Pendapatan

dan Belanja Desa.

(4) Selain penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa dan perangkat Desa memperoleh jaminan kesehatan dan sanggup memperoleh

penerimaan lainnya yang sah.

(5) Ketentuan lebih lanjut terkena bemasukan penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tuntidakboleh sebagaimana dimaksud pada ayat (3) serta

penerimaan lainnya yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN DESA DAN MASYARAKAT DESA
Pasal 67
(1) Desa berhak:
a. mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal usul, tabiat istiadat, dan nilai sosial budaya masyarakat Desa;
b. memutuskan dan mengelola kelembagaan Desa; dan
c. mendapatkan sumber pendapatan.
(2) Desa berkewajiban:

a. melindungi dan menjaga persatuan, kesatuan, serta kerukunan masyarakat Desa dalam rangka kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik

Indonesia;
b. meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat Desa;
c. mengembangkan kehidupan demokrasi;
d. mengembangkan pemberdayaan masyarakat Desa; dan
e. mempersembahkan dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat Desa.
Pasal 68
(1) Masyarakat Desa berhak:

a. meminta dan mendapatkan informasi dari Pemerintah Desa serta mengawasi kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa,

pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa;
b. memperoleh pelayanan yang sama dan adil;

c. memberikan aspirasi, masukan, dan pendapat ekspresi atau tertulis secara bertanggung jawaban wacana kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan

Pembangunan Desa, training kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa;
d. memilih, dipilih, dan/atau diputuskan menjadi:
1. Kepala Desa;
2. perangkat Desa;
3. anggota Badan Permusyawaratan Desa; atau
4. anggota lembaga kemasyarakatan Desa.
e. mendapatkan pengayoman dan proteksi dari gangguan ketenteraman dan ketertiban di Desa.
(2) Masyarakat Desa berkewajiban:
a. membangun diri dan memelihara lingkungan Desa;

b. mendorong terciptanya kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, training kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan

masyarakat Desa yang baik;
c. mendorong terciptanya situasi yang aman, nyaman, dan tenteram di Desa;
d. memelihara dan mengembangkan nilai permusyawaratan, permufakatan, kekeluargaan, dan kegotongroyongan di Desa; dan
e. berpartisipasi dalam aneka macam kegiatan di Desa.
BAB VII
PERATURAN DESA
Pasal 69
(1) Jenis peraturan di Desa terdiri atas Peraturan Desa, peraturan bersama Kepala Desa, dan peraturan Kepala Desa.

(2) Peraturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihentikan berperihalan dengan kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi.
(3) Peraturan Desa diputuskan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disahkan bersama Badan Permusyawaratan Desa.

(4) Rancangan Peraturan Desa wacana Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, pungutan, tata ruang, dan organisasi Pemerintah Desa harus mendapatkan evaluasi

dari Bupati/Walikota sebelum diputuskan menjadi Peraturan Desa.

(5) Hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diserahkan oleh Bupati/Walikota paling usang 20 (dua puluh) hari kerja terhitung semenjak diterimanya

rancangan peraturan tersebut oleh Bupati/Walikota.
(6) Dalam hal Bupati/Walikota sudah mempersembahkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala Desa wajib memperbaikinya.
(7) Kepala Desa didiberi waktu paling usang 20 (dua puluh) hari semenjak diterimanya hasil penilaian untuk melaksanakan koreksi.

(8) Dalam hal Bupati/Walikota tidak mempersembahkan hasil penilaian dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Peraturan Desa tersebut berlaku dengan

sendirinya.
(9) Rancangan Peraturan Desa wajib dikonsultasikan kepada masyarakat Desa.
(10) Masyarakat Desa berhak mempersembahkan masukan terhadap Rancangan Peraturan Desa.
(11) Peraturan Desa dan peraturan Kepala Desa diundangkan dalam Lembaran Desa dan Berita Desa oleh sekretaris Desa.
(12) Dalam pelaksanaan Peraturan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa memutuskan Peraturan Kepala Desa sebagai aturan pelaksanaannya.
Pasal 70
(1) Peraturan bersama Kepala Desa ialah peraturan yang diputuskan oleh Kepala Desa dari 2 (dua) Desa atau lebih yang melaksanakan kolaborasi antar-Desa.
(2) Peraturan bersama Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ialah perpaduan kepentingan Desa masing-masing dalam kolaborasi antar-Desa.
BAB VIII
KEUANGAN DESA DAN ASET DESA
Bagian Kesatu
Keuangan Desa
Pasal 71

(1) Keuangan Desa ialah tiruana hak dan kewajiban Desa yang sanggup dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang bekerjasama dengan

pelaksanaan hak dan kewajiban Desa.
(2) Hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menimbulkan pendapatan, belanja, pembiayaan, dan pengelolaan Keuangan Desa.
Pasal 72
(1) Pendapatan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2) bersumber dari:
a. pendapatan orisinil Desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan orisinil Desa;
b. alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
c. bab dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota;
d. alokasi dana Desa yang ialah bab dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota;
e. menolongan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota;
f. hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; dan
g. lain-lain pendapatan Desa yang sah.

(2) Alokasi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) karakter b bersumber dari Belanja Pusat dengan mengefektifkan kegiatan yang berbasis Desa secara merata

dan berkeadilan.

(3) Bagian hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) karakter c paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari

pajak dan retribusi daerah.

(4) Alokasi dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) karakter d paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota

dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus.
(5) Dalam rangka pengelolaan Keuangan Desa, Kepala Desa melimpahkan sebagian kewenangan kepada perangkat Desa yang ditunjuk.

(6) Bagi Kabupaten/Kota yang tidak mempersembahkan alokasi dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pemerintah sanggup melaksanakan penundaan dan/atau

pemotongan sebesar alokasi dana perimbangan setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus yang seharusnya disalurkan ke Desa.
Pasal 73
(1) Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa terdiri atas bab pendapatan, belanja, dan pembiayaan Desa.
(2) Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa diajukan oleh Kepala Desa dan dimusyawarahkan bersama Badan Permusyawaratan Desa.

(3) Sesuai dengan hasil musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Desa memutuskan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa setiap tahun dengan

Peraturan Desa.
Pasal 74

(1) Belanja Desa diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan yang disahkan dalam Musyawarah Desa dan sesuai dengan prioritas Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota, Pemda Provinsi, dan Pemerintah.

(2) Kebutuhan pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi, tetapi tidak terbatas pada kebutuhan primer, pelayanan dasar, lingkungan, dan

kegiatan pemberdayaan masyarakat Desa.
Pasal 75
(1) Kepala Desa ialah pemegang kekuasaan pengelolaan Keuangan Desa.
(2) Dalam melaksanakan kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa menguasakan sebagian kekuasaannya kepada perangkat Desa.
(3) Ketentuan lebih lanjut terkena Keuangan Desa diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Aset Desa
Pasal 76

(1) Aset Desa sanggup berupa tanah kas Desa, tanah ulayat, pasar Desa, pasar hewan, tambatan perahu, bangunan Desa, pelelangan ikan, pelelangan hasil

pertanian, hutan milik Desa, mata air milik Desa, pemandian umum, dan aset lainnya milik Desa.
(2) Aset lainnya milik Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain:

a. kekayaan Desa yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, serta Anggaran

Pendapatan dan Belanja Desa;
b. kekayaan Desa yang diperoleh dari hibah dan sumbangan atau yang sejenis;
c. kekayaan Desa yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak dan lain-lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. hasil kolaborasi Desa; dan
e. kekayaan Desa yang berasal dari perolehan lainnya yang sah.
(3) Kekayaan milik Pemerintah dan Pemda berskala lokal Desa yang ada di Desa sanggup dihibahkan kepemilikannya kepada Desa.
(4) Kekayaan milik Desa yang berupa tanah disertifikatkan atas nama Pemerintah Desa.

(5) Kekayaan milik Desa yang sudah diambil alih oleh Pemda Kabupaten/Kota dikembalikan kepada Desa, kecuali yang sudah dipakai untuk

fasilitas umum.
(6) Bangunan milik Desa harus dilengkapi dengan bukti status kepemilikan dan ditatausahakan secara tertib.
Pasal 77

(1) Pengelolaan kekayaan milik Desa dilaksanakan berdasarkan asas kepentingan umum, fungsional, kepastian hukum, keterbukaan, efisiensi, efektivitas,

akuntabilitas, dan kepastian nilai ekonomi.
(2) Pengelolaan kekayaan milik Desa dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat Desa serta meningkatkan pendapatan Desa.

(3) Pengelolaan kekayaan milik Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibahas oleh Kepala Desa bersama Badan Permusyawaratan Desa berdasarkan tata cara

pengelolaan kekayaan milik Desa yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB IX
PEMBANGUNAN DESA DAN PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN
Bagian Kesatu
Pembangunan Desa
Pasal 78

(1) Pembangunan Desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa dan kualitas hidup insan serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan

kebutuhan dasar, pembangunan masukana dan pramasukana Desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta memanfaatkan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
(2) Pembangunan Desa mencakup tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.
(3) Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengedepankan kebersamaan, kekeluargaan, dan kegotongroyongan guna mewujudkan pengarusutamaan perdamaian dan keadilan sosial.
Paragraf 1
Perencanaan
Pasal 79
(1) Pemerintah Desa menyusun perencanaan Pembangunan Desa sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu pada perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota.
(2) Perencanaan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun secara berjangka meliputi:
a. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa untuk jangka waktu 6 (enam) tahun; dan

b. Rencana Pembangunan Tahunan Desa atau yang disebut Rencana Kerja Pemerintah Desa, ialah pembagian terstruktur mengenai dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa

untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.
(3) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana Kerja Pemerintah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diputuskan dengan Peraturan Desa.
(4) Peraturan Desa wacana Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana Kerja Pemerintah Desa ialah satu-satunya dokumen perencanaan di Desa.
(5) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana Kerja Pemerintah Desa ialah anutan dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa yangdiatur dalam Peraturan Pemerintah.
(6) Program Pemerintah dan/atau Pemda yang berskala lokal Desa dikoordinasikan dan/atau didelegasikan pelaksanaannya kepada Desa.
(7) Perencanaan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ialah salah satu sumber masukan dalam perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota.
Pasal 80
(1) Perencanaan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 diselenggarakan dengan mengikutsertakan masyarakat Desa.

(2) Dalam menyusun perencanaan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Desa wajib menyelenggarakan musyawarah perencanaan

Pembangunan Desa.

(3) Musyawarah perencanaan Pembangunan Desa memutuskan prioritas, program, kegiatan, dan kebutuhan Pembangunan Desa yang didanai oleh Anggaran Pendapatan

dan Belanja Desa, swadaya masyarakat Desa, dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.

(4) Prioritas, program, kegiatan, dan kebutuhan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dirumuskan berdasarkan penilaian terhadap kebutuhan

masyarakat Desa yang meliputi:
a. peningkatan kualitas dan saluran terhadap pelayanan dasar;
b. pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur dan lingkungan berdasarkan kemampuan teknis dan sumber daya lokal yang tersedia;
c. pengembangan ekonomi pertanian berskala produktif;
d. pengembangan dan memanfaatkan teknologi sempurna guna untuk kemajuan ekonomi; dan
e. peningkatan kualitas ketertiban dan ketenteraman masyarakat Desa berdasarkan kebutuhan masyarakat Desa.

Paragraf 2
Pelaksanaan
Pasal 81
(1) Pembangunan Desa dilaksanakan sesuai dengan Rencana Kerja Pemerintah Desa.
(2) Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dengan melibatkan seluruh masyarakat Desa dengan semangat gotong royong.
(3) Pelaksanaan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memanfaatkan kearifan lokal dan sumber daya alam Desa.
(4) Pembangunan lokal berskala Desa dilaksanakan sendiri oleh Desa.
(5) Pelaksanaan kegiatan sektoral yang masuk ke Desa diinformasikan kepada Pemerintah Desa untuk diintegrasikan dengan Pembangunan Desa.
Paragraf 3
Pemantauan dan Pengawasan Pembangunan Desa
Pasal 82
(1) Masyarakat Desa berhak mendapatkan informasi terkena planning dan pelaksanaan Pembangunan Desa.
(2) Masyarakat Desa berhak melaksanakan pemantauan terhadap pelaksanaan Pembangunan Desa.
(3) Masyarakat Desa melaporkan hasil pemantauan dan aneka macam keluhan terhadap pelaksanaan Pembangunan Desa kepada Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa.

(4) Pemerintah Desa wajib menginformasikan perencanaan dan pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa, Rencana Kerja Pemerintah Desa, dan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa kepada masyarakat Desa melalui layanan informasi kepada umum dan melaporkannya dalam Musyawarah Desa paling sedikit 1 (satu) tahun sekali.
(5) Masyarakat Desa berpartisipasi dalam Musyawarah Desa untuk menanggapi laporan pelaksanaan Pembangunan Desa.
Bagian Kedua
Pembangunan Kawasan Perdesaan
Pasal 83
(1) Pembangunan Kawasan Perdesaan ialah perpaduan pembangunan antar-Desa dalam 1 (satu) Kabupaten/Kota.
(2) Pembangunan Kawasan Perdesaan dilaksanakan dalam upaya mempercepat dan meningkatkan kualitas pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat Desa di Kawasan Perdesaan melalui pendekatan pembangunan partisipatif.
(3) Pembangunan Kawasan Perdesaan meliputi:
a. penerapan dan memanfaatkan wilayah Desa dalam rangka penetapan daerah pembangunan sesuai dengan tata ruang Kabupaten/Kota;
b. pelayanan yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan;
c. pembangunan infrastruktur, peningkatan ekonomi perdesaan, dan pengembangan teknologi sempurna guna; dan
d. pemberdayaan masyarakat Desa untuk meningkatkan saluran terhadap pelayanan dan kegiatan ekonomi.

(4) Rancangan pembangunan Kawasan Perdesaan dibahas bersama oleh Pemerintah, Pemda Provinsi, Pemda Kabupaten/Kota, dan

Pemerintah Desa.

(5) Rencana pembangunan Kawasan Perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diputuskan oleh Bupati/Walikota sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Daerah.
Pasal 84

(1) Pembangunan Kawasan Perdesaan oleh Pemerintah, Pemda Provinsi, Pemda Kabupaten/Kota, dan/atau pihak ketiga yang terkait dengan

memanfaatkan Aset Desa dan tata ruang Desa wajib melibatkan Pemerintah Desa.
(2) Perencanaan, pelaksanaan, memanfaatkan, dan pendayagunaan Aset Desa untuk pembangunan Kawasan Perdesaan merujuk pada hasil Musyawarah Desa.
(3) Pengaturan lebih lanjut terkena perencanaan, pelaksanaan pembangunan Kawasan Perdesaan, memanfaatkan, dan pendayagunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal 85

(1) Pembangunan Kawasan Perdesaan dilakukan oleh Pemerintah, Pemda Provinsi, dan Pemda Kabupaten/Kota melalui satuan kerja

perangkat daerah, Pemerintah Desa, dan/atau BUM Desa dengan mengikutsertakan masyarakat Desa.

(2) Pembangunan Kawasan Perdesaan yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemda Provinsi, Pemda Kabupaten/Kota, dan pihak ketiga wajib

mendayagunakan potensi sumber daya alam dan sumber daya insan serta mengikutsertakan Pemerintah Desa dan masyarakat Desa.
(3) Pembangunan Kawasan Perdesaan yang berskala lokal Desa wajib diserahkan pelaksanaannya kepada Desa dan/atau kolaborasi antar-Desa.
Bagian Ketiga
Sistem Informasi Pembangunan Desa dan Pembangunan Kawasan Perdesaan
Pasal 86
(1) Desa berhak mendapatkan saluran informasi melalui sistem informasi Desa yang dikembangkan oleh Pemda Kabupaten/Kota.
(2) Pemerintah dan Pemda wajib mengembangkan sistem informasi Desa dan pembangunan Kawasan Perdesaan.
(3) Sistem informasi Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup kemudahan perangkat keras dan perangkat lunak, jaenteng, serta sumber daya manusia.

(4) Sistem informasi Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup data Desa, data Pembangunan Desa, Kawasan Perdesaan, serta informasi lain yang

berkaitan dengan Pembangunan Desa dan pembangunan Kawasan Perdesaan.

(5) Sistem informasi Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikelola oleh Pemerintah Desa dan sanggup diakses oleh masyarakat Desa dan tiruana pemangku

kepentingan.
(6) Pemda Kabupaten/Kota menyediakan informasi perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota untuk Desa.
BAB X
BADAN USAHA MILIK DESA
Pasal 87
(1) Desa sanggup mendirikan Badan Usaha Milik Desa yang disebut BUM Desa.
(2) BUM Desa dikelola dengan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan.
(3) BUM Desa sanggup menjalankan perjuangan di bidang ekonomi dan/atau pelayanan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 88
(1) Pendirian BUM Desa disahkan melalui Musyawarah Desa.
(2) Pendirian BUM Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diputuskan dengan Peraturan Desa.
Pasal 89
Hasil perjuangan BUM Desa dimanfaatkan untuk:
a. pengembangan usaha; dan

b. Pembangunan Desa, pemberdayaan masyarakat Desa, dan pemdiberian menolongan untuk masyarakat miskin melalui hibah, menolongan sosial, dan kegiatan dana bergulir

yang diputuskan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
Pasal 90
Pemerintah, Pemda Provinsi, Pemda Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Desa mendorong perkembangan BUM Desa dengan:
a. mempersembahkan hibah dan/atau saluran permodalan;
b. melaksanakan pendampingan teknis dan saluran ke pasar; dan
c. memprioritaskan BUM Desa dalam pengelolaan sumber daya alam di Desa.
BAB XI
KERJA SAMA DESA
Pasal 91
Desa sanggup mengadakan kolaborasi dengan Desa lain dan/atau kolaborasi dengan pihak ketiga.
Bagian Kesatu
Kerja Sama antar-Desa
Pasal 92
(1) Kerja sama antar-Desa meliputi:
a. pengembangan perjuangan bersama yang dimiliki oleh Desa untuk mencapai nilai ekonomi yang berdaya saing;
b. kegiatan kemasyarakatan, pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat antar-Desa; dan/atau
c. bidang keamanan dan ketertiban.
(2) Kerja sama antar-Desa dituangkan dalam Peraturan Bersama Kepala Desa melalui kesepakatan musyawarah antar-Desa.
(3) Kerja sama antar-Desa dilaksanakan oleh tubuh kolaborasi antar-Desa yang dibuat melalui Peraturan Bersama Kepala Desa.
(4) Musyawarah antar-Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengulas hal yang berkaitan dengan:
a. pembentukan lembaga antar-Desa;
b. pelaksanaan kegiatan Pemerintah dan Pemda yang sanggup dilaksanakan melalui sketsa kolaborasi antar-Desa;
c. perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan kegiatan pembangunan antar-Desa;
d. pengalokasian anggaran untuk Pembangunan Desa, antar-Desa, dan Kawasan Perdesaan;
e. masukan terhadap kegiatan Pemda tempat Desa tersebut berada; dan
f. kegiatan lainnya yang sanggup diselenggarakan melalui kolaborasi antar-Desa.
(5) Dalam melaksanakan pembangunan antar-Desa, tubuh kolaborasi antar-Desa sanggup membentuk kelompok/lembaga sesuai dengan kebutuhan.
(6) Dalam pelayanan perjuangan antar-Desa sanggup dibuat BUM Desa yang ialah milik 2 (dua) Desa atau lebih.
Bagian Kedua
Kerja Sama dengan Pihak Ketiga
Pasal 93

(1) Kerja sama Desa dengan pihak ketiga dilakukan untuk mempercepat dan meningkatkan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa,

pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.
(2) Kerja sama dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimusyawarahkan dalam Musyawarah Desa.
BAB XII
LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN LEMBAGA ADAT DESA
Bagian Kesatu
Lembaga Kemasyarakatan Desa
Pasal 94

(1) Desa mendayagunakan lembaga kemasyarakatan Desa yang ada dalam memmenolong pelaksanaan fungsi penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan

Desa, training kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.
(2) Lembaga kemasyarakatan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ialah wadah partisipasi masyarakat Desa sebagai kawan Pemerintah Desa.

(3) Lembaga kemasyarakatan Desa bertugas melaksanakan pemberdayaan masyarakat Desa, ikut serta merencanakan dan melaksanakan pembangunan, serta meningkatkan

pelayanan masyarakat Desa.

(4) Pelaksanaan kegiatan dan kegiatan yang bersumber dari Pemerintah, Pemda Provinsi, Pemda Kabupaten/Kota, dan lembaga

non-Pemerintah wajib memberdayakan dan mendayagunakan lembaga kemasyarakatan yang sudah ada di Desa.
Bagian Kedua
Lembaga Adat Desa
Pasal 95
(1) Pemerintah Desa dan masyarakat Desa sanggup membentuk lembaga tabiat Desa.

(2) Lembaga tabiat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ialah lembaga yang menyelenggarakan fungsi tabiat istiadat dan menjadi bab dari susunan asli

Desa yang tumbuh dan berkembang atas prakarsa masyarakat Desa.

(3) Lembaga tabiat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memmenolong Pemerintah Desa dan sebagai kawan dalam memberdayakan, melestarikan, dan

mengembangkan tabiat istiadat sebagai wujud ratifikasi terhadap tabiat istiadat masyarakat Desa.
BAB XIII
KETENTUAN KHUSUS DESA ADAT
Bagian Kesatu
Penataan Desa Adat
Pasal 96

Pemerintah, Pemda Provinsi, dan Pemda Kabupaten/Kota melaksanakan penataan kesatuan masyarakat aturan tabiat dan diputuskan menjadi Desa

Adat.
Pasal 97
(1) Penetapan Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 memenuhi syarat:

a. kesatuan masyarakat aturan tabiat beserta hak tradisionalnya secara aktual masih hidup, baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat

fungsional;
b. kesatuan masyarakat aturan tabiat beserta hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan
c. kesatuan masyarakat aturan tabiat beserta hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(2) Kesatuan masyarakat aturan tabiat beserta hak tradisionalnya yang masih hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) karakter a harus mempunyai wilayah dan paling

kurang memenuhi salah satu atau campuran unsur adanya:
a. masyarakat yang masyarakatnya mempunyai perasaan bersama dalam kelompok;
b. pranata pemerintahan adat;
c. harta kekayaan dan/atau benda adat; dan/atau
d. perangkat norma aturan adat.

(3) Kesatuan masyarakat aturan tabiat beserta hak tradisionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) karakter b dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat

apabila:

a. keberadaannya sudah diakui berdasarkan undang-undang yang berlaku sebagai pencerminan perkembangan nilai yang dianggap ideal dalam masyarakat dewasa

ini, baik undang-undang yang bersifat umum maupun bersifat sektoral; dan

b. substansi hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh masyarakat kesatuan masyarakat yang bersangkutan dan masyarakat yang lebih luas serta tidak

berperihalan dengan hak asasi manusia.

(4) Suatu kesatuan masyarakat aturan tabiat beserta hak tradisionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) karakter c sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia apabila kesatuan masyarakat aturan tabiat tersebut tidak mengganggu keberadaan Negara Kesatuan Republik lndonesia sebagai sebuah kesatuan

politik dan kesatuan aturan yang:
a. tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan Republik lndonesia; dan
b. substansi norma aturan adatnya sesuai dan tidak berperihalan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 98
(1) Desa Adat diputuskan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

(2) Pembentukan Desa Adat setelah penetapan Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan faktor penyelenggaraan Pemerintahan

Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, training kemasyarakatan Desa, serta pemberdayaan masyarakat Desa dan masukana pramasukana pendukung.
Pasal 99
(1) Penggabungan Desa Adat sanggup dilakukan atas prakarsa dan kesepakatan antar-Desa Adat.
(2) Pemda Kabupaten/Kota memfasilitasi pelaksanaan penggabungan Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 100

(1) Status Desa sanggup diubah menjadi Desa Adat, kelurahan sanggup diubah menjadi Desa Adat, Desa Adat sanggup diubah menjadi Desa, dan Desa Adat sanggup diubah

menjadi kelurahan berdasarkan prakarsa masyarakat yang bersangkutan melalui Musyawarah Desa dan disetujui oleh Pemda Kabupaten/Kota.

(2) Dalam hal Desa diubah menjadi Desa Adat, kekayaan Desa beralih status menjadi kekayaan Desa Adat, dalam hal kelurahan menjelma Desa Adat,

kekayaan kelurahan beralih status menjadi kekayaan Desa Adat, dalam hal Desa Adat menjelma Desa, kekayaan Desa Adat beralih status menjadi kekayaan

Desa, dan dalam hal Desa Adat menjelma kelurahan, kekayaan Desa Adat beralih status menjadi kekayaan Pemda Kabupaten/Kota.
Pasal 101
(1) Pemerintah, Pemda Provinsi, dan Pemda Kabupaten/Kota sanggup melaksanakan penataan Desa Adat.
(2) Penataan Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diputuskan dalam Peraturan Daerah.
(3) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai lampiran peta batas wilayah.
Pasal 102

Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (2) berpedoman pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 14, Pasal 15,

Pasal 16, dan Pasal 17.
Bagian Kedua
Kewenangan Desa Adat
Pasal 103
Kewenangan Desa Adat berdasarkan hak asal usul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 karakter a meliputi:
a. pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli;
b. pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat;
c. pelestarian nilai sosial budaya Desa Adat;

d. penyelesaian sengketa tabiat berdasarkan aturan tabiat yang berlaku di Desa Adat dalam wilayah yang selaras dengan prinsip hak asasi insan dengan

mengutamakan penyelesaian secara musyawarah;
e. penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan Desa Adat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
f. pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa Adat berdasarkan aturan tabiat yang berlaku di Desa Adat; dan
g. pengembangan kehidupan aturan tabiat sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Desa Adat.
Pasal 104

Pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan berskala lokal Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 karakter a dan karakter b serta

Pasal 103 diatur dan diurus oleh Desa Adat dengan memperhatikan prinsip keberagaman.
Pasal 105

Pelaksanaan kewenangan yang ditugaskan dan pelaksanaan kewenangan kiprah lain dari Pemerintah, Pemda Provinsi, atau Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 karakter c dan karakter d diurus oleh Desa Adat.
Pasal 106

(1) Penugasan dari Pemerintah dan/atau Pemda kepada Desa Adat mencakup penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat, pelaksanaan Pembangunan Desa

Adat, training kemasyarakatan Desa Adat, dan pemberdayaan masyarakat Desa Adat.
(2) Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan biaya.
Bagian Ketiga
Pemerintahan Desa Adat
Pasal 107

Pengaturan dan penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat dilaksanakan sesuai dengan hak asal usul dan aturan tabiat yang berlaku di Desa Adat yang masih hidup

serta sesuai dengan perkembangan masyarakat dan tidak berperihalan dengan asas penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat dalam prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia.
Pasal 108

Pemerintahan Desa Adat menyelenggarakan fungsi permusyawaratan dan Musyawarah Desa Adat sesuai dengan susunan orisinil Desa Adat atau dibuat gres sesuai

dengan prakarsa masyarakat Desa Adat.
Pasal 109
Susunan kelembagaan, pengisian jabatan, dan masa jabatan Kepala Desa Adat berdasarkan aturan tabiat diputuskan dalam peraturan daerah Provinsi.
Bagian Keempat
Peraturan Desa Adat
Pasal 110

Peraturan Desa Adat diadaptasi dengan aturan tabiat dan norma tabiat istiadat yang berlaku di Desa Adat sepanjang tidak berperihalan dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.
Pasal 111
(1) Ketentuan khusus wacana Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 hingga dengan Pasal 110 spesialuntuk berlaku untuk Desa Adat.
(2) Ketentuan wacana Desa berlaku juga untuk Desa Adat sepanjang tidak diatur dalam ketentuan khusus wacana Desa Adat.
BAB XIV
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 112
(1) Pemerintah, Pemda Provinsi, dan Pemda Kabupaten/Kota membina dan mengawasi penyelenggaraan Pemerintahan Desa.

(2) Pemerintah, Pemda Provinsi, dan Pemda Kabupaten/Kota sanggup mendelegasikan training dan pengawasan kepada perangkat daerah.
(3) Pemerintah, Pemda Provinsi, dan Pemda Kabupaten/Kota memberdayakan masyarakat Desa dengan:

a. menerapkan hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, teknologi sempurna guna, dan temuan gres untuk kemajuan ekonomi dan pertanian masyarakat

Desa;
b. meningkatkan kualitas pemerintahan dan masyarakat Desa melalui pendidikan, petes, dan penyuluhan; dan
c. mengakui dan memfungsikan institusi orisinil dan/atau yang sudah ada di masyarakat Desa.

(4) Pemberdayaan masyarakat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan pendampingan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan

Pembangunan Desa dan Kawasan Perdesaan.
Pasal 113
Pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1) meliputi:
a. mempersembahkan anutan dan standar pelaksanaan penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
b. mempersembahkan anutan wacana pertolongan pendanaan dari Pemerintah, Pemda Provinsi, dan Pemda Kabupaten/Kota kepada Desa;
c. mempersembahkan penghargaan, pembimbingan, dan training kepada lembaga masyarakat Desa;
d. mempersembahkan anutan penyusunan perencanaan pembangunan partisipatif;
e. mempersembahkan anutan standar jabatan bagi perangkat Desa;
f. mempersembahkan bimbingan, supervisi, dan konsultasi penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Badan Permusyawaratan Desa, dan lembaga kemasyarakatan;

g. mempersembahkan penghargaan atas prestasi yang dilaksanakan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Badan Permusyawaratan Desa, dan lembaga kemasyarakatan

Desa;
h. memutuskan menolongan keuangan eksklusif kepada Desa;
i. melaksanakan pendidikan dan petes tertentu kepada aparatur Pemerintahan Desa dan Badan Permusyawaratan Desa;
j. melaksanakan penelitian wacana penyelenggaraan Pemerintahan Desa di Desa tertentu;
k. mendorong percepatan pembangunan perdesaan;
l. memfasilitasi dan melaksanakan penelitian dalam rangka penentuan kesatuan masyarakat aturan tabiat sebagai Desa; dan
m. menyusun dan memfasilitasi petunjuk teknis bagi BUM Desa dan lembaga kolaborasi Desa.
Pasal 114
Pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh Pemda Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1) meliputi:
a. melaksanakan training terhadap Kabupaten/Kota dalam rangka penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang mengatur Desa;
b. melaksanakan training Kabupaten/Kota dalam rangka pemdiberian alokasi dana Desa;
c. melaksanakan training peningkatan kapasitas Kepala Desa dan perangkat Desa, Badan Permusyawaratan Desa, dan lembaga kemasyarakatan;
d. melaksanakan training manajemen Pemerintahan Desa;
e. melaksanakan training upaya percepatan Pembangunan Desa melalui menolongan keuangan, menolongan pendampingan, dan menolongan teknis;
f. melaksanakan bimbingan teknis bidang tertentu yang mustahil dilakukan oleh Pemda Kabupaten/Kota;
g. melaksanakan inventarisasi kewenangan Provinsi yang dilaksanakan oleh Desa;
h. melaksanakan training dan pengawasan atas penetapan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota dalam pembiayaan Desa;
i. melaksanakan training terhadap Kabupaten/Kota dalam rangka penataan wilayah Desa;
j. memmenolong Pemerintah dalam rangka penentuan kesatuan masyarakat aturan tabiat sebagai Desa; dan
k. membina dan mengawasi penetapan pengaturan BUM Desa Kabupaten/Kota dan lembaga kolaborasi antar-Desa.
Pasal 115
Pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh Pemda Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1) meliputi:
a. mempersembahkan anutan pelaksanaan penugasan urusan Kabupaten/Kota yang dilaksanakan oleh Desa;
b. mempersembahkan anutan penyusunan Peraturan Desa dan Peraturan Kepala Desa;
c. mempersembahkan anutan penyusunan perencanaan pembangunan partisipatif;
d. melaksanakan fasilitasi penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
e. melaksanakan penilaian dan pengawasan Peraturan Desa;
f. memutuskan pembiayaan alokasi dana perimbangan untuk Desa;
g. mengawasi pengelolaan Keuangan Desa dan pendayagunaan Aset Desa;
h. melaksanakan training dan pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
i. menyelenggarakan pendidikan dan petes bagi Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa, lembaga kemasyarakatan, dan lembaga adat;

j. mempersembahkan penghargaan atas prestasi yang dilaksanakan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Badan Permusyawaratan Desa, lembaga kemasyarakatan, dan

lembaga adat;
k. melaksanakan upaya percepatan pembangunan perdesaan;
l. melaksanakan upaya percepatan Pembangunan Desa melalui menolongan keuangan, menolongan pendampingan, dan menolongan teknis;
m. melaksanakan peningkatan kapasitas BUM Desa dan lembaga kolaborasi antar-Desa; dan
n. mempersembahkan hukuman atas penyimpangan yang dilakukan oleh Kepala Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 116
(1) Desa yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku tetap diakui sebagai Desa.
(2) Pemda Kabupaten/Kota memutuskan Peraturan Daerah wacana penetapan Desa dan Desa Adat di wilayahnya.
(3) Penetapan Desa dan Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling usang 1 (satu) tahun semenjak Undang-Undang ini diundangkan.
(4) Paling usang 2 (dua) tahun semenjak Undang-Undang ini berlaku, Pemda Kabupaten/Kota bersama Pemerintah Desa melaksanakan inventarisasi Aset Desa.
Pasal 117
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang sudah ada wajib menyesuaikannya dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 118
(1) Masa jabatan Kepala Desa yang ada pada ketika ini tetap berlaku hingga habis masa jabatannya.
(2) Periodisasi masa jabatan Kepala Desa mengikuti ketentuan Undang-Undang ini.
(3) Anggota Badan Permusyawaratan Desa yang ada pada ketika ini tetap menjalankan kiprah hingga habis masa keanggotaanya.
(4) Periodisasi keanggotaan Badan Permusyawaratan Desa mengikuti ketentuan Undang-Undang ini.
(5) Perangkat Desa yang tidak berstatus pegawai negeri sipil tetap melaksanakan kiprah hingga habis masa tugasnya.

(6) Perangkat Desa yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil melaksanakan tugasnya hingga diputuskan penempatannya yang diatur dengan Peraturan

Pemerintah.
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 119

Semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan secara eksklusif dengan Desa wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya dengan ketentuan

Undang-Undang ini.
Pasal 120
(1) Semua peraturan pelaksanaan wacana Desa yang selama ini ada tetap berlaku sepanjang tidak berperihalan dengan Undang-Undang ini.

(2) Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus diputuskan paling usang 2 (dua) tahun terhitung semenjak Undang-Undang ini

diundangkan.
Pasal 121

Pada ketika Undang-Undang ini mulai berlaku, Pasal 200 hingga dengan Pasal 216 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 wacana Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana sudah diubah beberapa kali terakhir dengan

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 wacana Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 wacana Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844) dicabut dan ditetapkan tidak berlaku.
Pasal 122
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 15 Januari 2014
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 15 Januari 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 7
Salinan sesuai dengan aslinya
KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA RI
Asisten Deputi Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Wisnu Setiawan

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG
DESA I. UMUM
1. Dasar Pemikiran
Desa atau yang disebut dengan nama lain sudah ada sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk. Sebagai bukti keberadaannya, Penjelasan Pasal 18 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum perubahan) sebut bahwa "Dalam territori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 "Zelfbesturende landschappen" dan "Volksgemeenschappen", menyerupai desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan Asli dan oleh karenanya sanggup dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang terkena daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut". Oleh lantaran itu, keberadaannya wajib tetap diakui dan didiberikan jaminan keberlangsungan hidupnya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Keberagaman karakteristik dan jenis Desa, atau yang disebut dengan nama lain, tidak menjadi penghalang bagi para pendiri bangsa (founding fathers) ini untuk menjatuhkan pilihannya pada bentuk negara kesatuan. Meskipun disadari bahwa dalam suatu negara kesatuan perlu terdapat homogenitas, tetapi Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap mempersembahkan ratifikasi dan jaminan terhadap keberadaan kesatuan masyarakat aturan dan kesatuan masyarakat aturan tabiat beserta hak tradisionalnya.
Dalam kaitan susunan dan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, setelah perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengaturan Desa atau disebut dengan nama lain dari segi pemerintahannya mengacu pada ketentuan Pasal 18 ayat (7) yang menegaskan bahwa "Susunan dan tata cara penyelenggaraan Pemerintahan Daerah diatur dalam undang-undang". Hal itu berarti bahwa Pasal 18 ayat (7) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 membuka kemungkinan adanya susunan pemerintahan dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Melalui perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ratifikasi terhadap kesatuan masyarakat aturan tabiat dipertegas melalui ketentuan dalam Pasal 18B ayat (2) yang berbunyi "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat aturan tabiat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang".
Dalam sejarah pengaturan Desa, sudah diputuskan beberapa pengaturan wacana Desa, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 wacana Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 wacana Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 wacana Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 wacana Desa Praja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 wacana Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 wacana Pemerintahan Desa, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 wacana Pemerintahan Daerah, dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 wacana Pemerintahan Daerah.
Dalam pelaksanaannya, pengaturan terkena Desa tersebut belum sanggup mewadahi segala kepentingan dan kebutuhan masyarakat Desa yang hingga ketika ini sudah berjumlah sekitar 73.000 (tujuh puluh tiga ribu) Desa dan sekitar 8.000 (delapan ribu) kelurahan. Selain itu, pelaksanaan pengaturan Desa yang selama ini berlaku sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, terutama antara lain menyangkut kedudukan masyarakat aturan adat, demokratisasi, keberagaman, partisipasi masyarakat, serta kemajuan dan pemerataan pembangunan sehingga menimbulkan kesentidakboleh antarwilayah, kemiskinan, dan duduk kasus sosial budaya yang sanggup mengganggu keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Undang-Undang ini disusun dengan semangat penerapan amanat konstitusi, yaitu pengaturan masyarakat aturan tabiat sesuai dengan ketentuan Pasal 18B ayat (2) untuk diatur dalam susunan pemerintahan sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (7). Walaupun demikian, kewenangan kesatuan masyarakat aturan tabiat terkena pengaturan hak ulayat merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan sektoral yang berkaitan.
melaluiataubersamaini konstruksi menggabungkan fungsi self-governing community dengan local self government, dibutuhkan kesatuan masyarakat aturan tabiat yang selama ini ialah bab dari wilayah Desa, ditata sedemikian rupa menjadi Desa dan Desa Adat. Desa dan Desa Adat intinya melaksanakan kiprah yang hampir sama. Sedangkan perbedaannya spesialuntuklah dalam pelaksanaan hak asal-usul, terutama menyangkut pelestarian sosial Desa Adat, pengaturan dan pengurusan wilayah adat, sidang perdamaian adat, pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban bagi masyarakat aturan adat, serta pengaturan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli.
Desa Adat mempunyai fungsi pemerintahan, keuangan Desa, pembangunan Desa, serta mendapat fasilitasi dan training dari pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam posisi menyerupai ini, Desa dan Desa Adat mendapat perlakuan yang sama dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Oleh lantaran itu, di masa depan Desa dan Desa Adat sanggup melaksanakan perubahan wajah Desa dan tata kelola penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, pelaksanaan pembangunan yang berdaya guna, serta training masyarakat dan pemberdayaan masyarakat di wilayahnya. Dalam status yang sama menyerupai itu, Desa dan Desa Adat diatur secara tersendiri dalam Undang-Undang ini.
Menteri yang menangani Desa ketika ini ialah Menteri Dalam Negeri. Dalam kedududukan ini Menteri Dalam Negeri memutuskan pengaturan umum, petunjuk teknis, dan fasilitasi terkena penyelenggaraan pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, training kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.
2. Tujuan dan Asas Pengaturan
a. Tujuan Pengaturan
Pemerintah negara Republik Indonesia dibuat untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian awet, dan keadilan sosial.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 wacana Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional sudah memutuskan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional yang ialah pembagian terstruktur mengenai dari tujuan dibentuknya pemerintahan negara Indonesia. Desa yang mempunyai hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berperan mewujudkan harapan kemerdekaan berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu dilindungi dan diberdayakan supaya menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga sanggup membuat landasan yang kukuh dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. melaluiataubersamaini demikian, tujuan diputuskannya pengaturan Desa dalam Undang-Undang ini ialah pembagian terstruktur mengenai lebih lanjut dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (7) dan Pasal 18B ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu:
1) mempersembahkan ratifikasi dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2) mempersembahkan kejelasan status dan kepastian aturan atas Desa dalam sistem ketatguagaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia;
3) melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa;
4) mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama;
5) membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawaban;
6) meningkatkan pelayanan publik bagi masyarakat masyarakat Desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum;
7) meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna mewujudkan masyarakat Desa yang bisa memelihara kesatuan sosial sebagai bab dari ketahanan nasional;
8) memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi kesentidakboleh pembangunan nasional; dan
9) memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan.
b. Asas Pengaturan
Asas pengaturan dalam Undang-Undang ini adalah:
1) rekognisi, yaitu ratifikasi terhadap hak asal usul;
2) subsidiaritas, yaitu penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat Desa;
3) keberagaman, yaitu ratifikasi dan penghormatan terhadap sistem nilai yang berlaku di masyarakat Desa, tetapi dengan tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara;
4) kebersamaan, yaitu semangat untuk berperan aktif dan bekerja sama dengan prinsip saling menghargai antara kelembagaan di tingkat Desa dan unsur masyarakat Desa dalam membangun Desa;
5) kegotongroyongan, yaitu kebiasaan saling tolong-menolong untuk membangun Desa;
6) kekeluargaan, yaitu kebiasaan masyarakat masyarakat Desa sebagai bab dari satu kesatuan keluarga besar masyarakat Desa;
7) musyawarah, yaitu proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat Desa melalui diskusi dengan aneka macam pihak yang berkepentingan;
8) demokrasi, yaitu sistem pengorganisasian masyarakat Desa dalam suatu sistem pemerintahan yang dilakukan oleh masyarakat Desa atau dengan persetujuan masyarakat Desa serta keluhuran harkat dan martabat insan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa diakui, ditata, dan dijamin;
9) kemandirian, yaitu suatu proses yang dilakukan oleh Pemerintah Desa dan masyarakat Desa untuk melaksanakan suatu kegiatan dalam rangka memenuhi kebutuhannya dengan kemampuan sendiri;
10) partisipasi, yaitu turut berperan aktif dalam suatu kegiatan;
11) kesetaraan, yaitu kesamaan dalam kedudukan dan peran;
12) pemberdayaan, yaitu upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat Desa melalui penetapan kebijakan, program, dan kegiatan yang sesuai dengan esensi duduk kasus dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa; dan
13) keberlanjutan, yaitu suatu proses yang dilakukan secara terkoordinasi, terintegrasi, dan berkesinambungan dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan pembangunan Desa.
3. Materi Muatan
Undang-Undang ini menegaskan bahwa penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan, training kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat berdasarkan Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Undang-Undang ini mengatur materi terkena Asas Pengaturan, Kedudukan dan Jenis Desa, Penataan Desa, Kewenangan Desa, Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Hak dan Kewajiban Desa dan Masyarakat Desa, Peraturan Desa, Keuangan Desa dan Aset Desa, Pembangunan Desa dan Pembangunan Kawasan Perdesaan, Badan Usaha Milik Desa, Kerja Sama Desa, Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa, serta Pembinaan dan Pengawasan. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur dengan ketentuan khusus yang spesialuntuk berlaku untuk Desa Adat sebagaimana diatur dalam Bab XIII.
4. Desa dan Desa Adat
Desa atau yang disebut dengan nama lain mempunyai karakteristik yang berlaku umum untuk seluruh Indonesia, sedangkan Desa Adat atau yang disebut dengan nama lain mempunyai karakteristik yang tidak sama dari Desa pada umumnya, terutama lantaran kuatnya imbas tabiat terhadap sistem pemerintahan lokal, pengelolaan sumber daya lokal, dan kehidupan sosial budaya masyarakat Desa.
Desa Adat pada prinsipnya ialah warisan organisasi kepemerintahan masyarakat lokal yang dipelihara secara bebuyutan yang tetap diakui dan diperjuangkan oleh pemimpin dan masyarakat Desa Adat supaya sanggup berfungsi mengembangkan kesejahteraan dan identitas sosial budaya lokal. Desa Adat mempunyai hak asal usul yang lebih lebih banyak didominasi daripada hak asal usul Desa semenjak Desa Adat itu lahir sebagai komunitas orisinil yang ada di tengah masyarakat. Desa Adat ialah sebuah kesatuan masyarakat aturan tabiat yang secara historis mempunyai batas wilayah dan identitas budaya yang terbentuk atas dasar teritorial yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desa berdasarkan hak asal usul.
Pada dasarnya kesatuan masyarakat aturan tabiat terbentuk berdasarkan tiga prinsip dasar, yaitu genealogis, teritorial, dan/atau campuran genealogis dengan teritorial. Yang diatur dalam Undang-Undang ini ialah kesatuan masyarakat aturan tabiat yang ialah campuran antara genealogis dan teritorial. Dalam kaitan itu, negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat aturan tabiat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Implementasi dari kesatuan masyarakat aturan tabiat tersebut sudah ada dan hidup di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, seperti huta/nagori di Sumatera Utara, gampong di Aceh, nagari di Minangkabau, marga di Sumatera bab selatan, tiuh atau pekon di Lampung, desa pakraman/desa adat di Bali, lembang di Toraja,banua dan wanua di Kalimantan, dan negeri di Maluku.
Di dalam perkembangannya, Desa Adat sudah menjelma lebih dari 1 (satu) Desa Adat; 1 (satu) Desa Adat menjadi Desa; lebih dari 1 (satu) Desa Adat menjadi Desa; atau 1 (satu) Desa Adat yang juga berfungsi sebagai 1 (satu) Desa/kelurahan. Oleh lantaran itu, Undang-Undang ini memungkinkan perubahan status dari Desa atau kelurahan menjadi Desa Adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia atas prakarsa masyarakat. Demikian pula, status Desa Adat sanggup menjelma Desa/kelurahan atas prakarsa masyarakat.
Penetapan Desa Adat untuk pertama kalinya berpedoman pada ketentuan khusus sebagaimana diatur dalam Bab XIII Undang-Undang ini. Pembentukan Desa Adat yang gres berpedoman pada ketentuan sebagaimana diatur dalam Bab III Undang-Undang ini.
Penetapan Desa Adat sebagaimana dimaksud di atas, yang menjadi pola utama ialah Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yaitu:
a. Putusan Nomor 010/PUU-l/2003 wacana Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2003 wacana Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 wacana Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam;
b. Putusan Nomor 31/PUU-V/2007 wacana Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2007 wacana Pembentukan Kota Tual Di Provinsi Maluku;
c. Putusan Nomor 6/PUU-Vl/2008 wacana Pengujian Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1999 wacana Pembentukan Kabupaten Buol, Kabupaten Morowali, dan Kabupaten Banggai Kepulauan; dan
d. Putusan Nomor 35/PUU-X/2012 wacana Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 wacana Kehutanan.
Namun demikian, lantaran kesatuan masyarakat aturan tabiat yang diputuskan menjadi Desa Adat melaksanakan fungsi pemerintahan (local self government) maka ada syarat mutlak yaitu adanya wilayah dengan batas yang jelas, adanya pemerintahan, dan perangkat lain serta ditambah dengan salah satu pranata lain dalam kehidupan masyarakat aturan tabiat menyerupai perasaan bersama, harta kekayaan, dan pranata pemerintahan adat.
5. Kelembagaan Desa
Di dalam Undang-Undang ini diatur terkena kelembagaan Desa/Desa Adat, yaitu lembaga Pemerintahan Desa/Desa Adat yang terdiri atas Pemerintah Desa/Desa Adat dan Badan Permusyawaratan Desa/Desa Adat, Lembaga Kemasyarakatan Desa, dan lembaga adat.
Kepala Desa/Desa Adat atau yang disebut dengan nama lain ialah kepala Pemerintahan Desa/Desa Adat yang memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Kepala Desa/Desa Adat atau yang disebut dengan nama lain mempunyai kiprah penting dalam kedudukannya sebagai kepantidakboleh tangan negara yang erat dengan masyarakat dan sebagai pemimpin masyarakat. melaluiataubersamaini posisi yang demikian itu, prinsip pengaturan wacana Kepala Desa/Desa Adat adalah:
a. sebutan Kepala Desa/Desa Adat diadaptasi dengan sebutan lokal;
b. Kepala Desa/Desa Adat berkedudukan sebagai kepala Pemerintah Desa/Desa Adat dan sebagai pemimpin masyarakat;
c. Kepala Desa dipilih secara demokratis dan eksklusif oleh masyarakat setempat, kecuali bagi Desa Adat sanggup memakai prosedur lokal; dan
d. pencalonan Kepala Desa dalam pemilihan eksklusif tidak memakai basis partai politik sehingga Kepala Desa dihentikan menjadi pengurus partai politik.
Mengingat kedudukan, kewenangan, dan Keuangan Desa yang semakin kuat, penyelenggaraan Pemerintahan Desa dibutuhkan lebih akuntabel yang didukung dengan sistem pengawasan dan keseimbangan antara Pemerintah Desa dan lembaga Desa. Lembaga Desa, khususnya Badan Permusyawaratan Desa yang dalam kedudukannya mempunyai fungsi penting dalam menyiapkan kebijakan Pemerintahan Desa bersama Kepala Desa, harus mempunyai visi dan misi yang sama dengan Kepala Desa sehingga Badan Permusyawaratan Desa tidak sanggup menjatuhkan Kepala Desa yang dipilih secara demokratis oleh masyarakat Desa.
6. Badan Permusyawaratan Desa
Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain ialah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya ialah wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan diputuskan secara demokratis.
Badan Permusyawaratan Desa ialah tubuh permusyawaratan di tingkat Desa yang turut mengulas dan menyepakati aneka macam kebijakan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Dalam upaya meningkatkan kinerja kelembagaan di tingkat Desa, memperkuat kebersamaan, serta meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat, Pemerintah Desa dan/atau Badan Permusyawaratan Desa memfasilitasi penyelenggaraan Musyawarah Desa. Musyawarah Desa atau yang disebut dengan nama lain ialah lembaga musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa untuk memusyawarahkan dan menyepakati hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Hasil Musyawarah Desa dalam bentuk kesepakatan yang dituangkan dalam keputusan hasil musyawarah dijadikan dasar oleh Badan Permusyawaratan Desa dan Pemerintah Desa dalam memutuskan kebijakan Pemerintahan Desa.
7. Peraturan Desa
Peraturan Desa diputuskan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disahkan bersama Badan Permusyawaratan Desa ialah kerangka aturan dan kebijakan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan Pembangunan Desa.
Penetapan Peraturan Desa ialah pembagian terstruktur mengenai atas aneka macam kewenangan yang dimiliki Desa mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sebagai sebuah produk hukum, Peraturan Desa tidak boleh berperihalan dengan peraturan yang lebih tinggi dan tidak boleh merugikan kepentingan umum, yaitu:
a. terganggunya kerukunan antarmasyarakat masyarakat;
b. terganggunya saluran terhadap pelayanan publik;
c. terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum;
d. terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa; dan
e. diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antargolongan, serta gender.
Sebagai sebuah produk politik, Peraturan Desa diproses secara demokratis dan partisipatif, yakni proses penyusunannya mengikutsertakan partisipasi masyarakat Desa. Masyarakat Desa mempunyai hak untuk mengusulkan atau mempersembahkan masukan kepada Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam proses penyusunan Peraturan Desa.
Peraturan Desa yang mengatur kewenangan Desa berdasarkan hak asal usul dan kewenangan berskala lokal Desa pelaksanaannya diawasi oleh masyarakat Desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Hal itu dimaksudkan supaya pelaksanaan Peraturan Desa senantiasa sanggup diawasi secara berkelanjutan oleh masyarakat masyarakat Desa setempat mengingat Peraturan Desa diputuskan untuk kepentingan masyarakat Desa.
Apabila terjadi pelanggaran terhadap pelaksanaan Peraturan Desa yang sudah diputuskan, Badan Permusyawaratan Desa berkewajiban mengingatkan dan menindaklanjuti pelanggaran dimaksud sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Itulah salah satu fungsi pengawasan yang dimiliki oleh Badan Permusyawaratan Desa. Selain Badan Permusyawaratan Desa, masyarakat Desa juga mempunyai hak untuk melaksanakan pengawasan dan penilaian secara partisipatif terhadap pelaksanaan Peraturan Desa.
Jenis peraturan yang ada di Desa, selain Peraturan Desa ialah Peraturan Kepala Desa dan Peraturan Bersama Kepala Desa.
8. Pemilihan Kepala Desa
Kepala Desa dipilih secara eksklusif oleh dan dari penduduk Desa masyarakat negara Republik Indonesia yang memenuhi persyaratan dengan masa jabatan 6 (enam) tahun terhitung semenjak tanggal pelantikan. Kepala Desa sanggup menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut. Sedangkan pengisian jabatan dan masa jabatan Kepala Desa Adat berlaku ketentuan aturan tabiat di Desa Adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diputuskan dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.
Khusus terkena pemilihan Kepala Desa dalam Undang-Undang ini diatur supaya dilaksanakan secara sekaligus di seluruh wilayah Kabupaten/Kota dengan maksud untuk menghindari hal negatif dalam pelaksanaannya.
Pemilihan Kepala Desa secara sekaligus mempertimbangkan jumlah Desa dan kemampuan biaya pemilihan yang dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota sehingga dimungkinkan pelaksanaannya secara bergelombang sepanjang diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Sebagai jawaban dilaksanakannya kebijakan pemilihan Kepala Desa secara sekaligus, dalam Undang-Undang ini diatur terkena pengisian jabatan Kepala Desa yang berhenti dan diberhentikan sebelum habis masa jabatan.
Jabatan Kepala Desa Adat diisi berdasarkan ketentuan yang berlaku bagi Desa Adat. Dalam hal terjadi kekosongan jabatan Kepala Desa Adat, Pemda Kabupaten/Kota sanggup memutuskan penjabat yang berasal dari masyarakat Desa Adat yang bersangkutan.
9. Sumber Pendapatan Desa
Desa mempunyai sumber pendapatan Desa yang terdiri atas pendapatan orisinil Desa, bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota, bab dari dana perimbangan keuangan sentra dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota, alokasi anggaran dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, menolongan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota, serta hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga.
pertolongan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota kepada Desa didiberikan sesuai dengan kemampuan keuangan Pemda yang bersangkutan. pertolongan tersebut diarahkan untuk percepatan Pembangunan Desa. Sumber pendapatan lain yang sanggup diusahakan oleh Desa berasal dari Badan Usaha Milik Desa, pengelolaan pasar Desa, pengelolaan daerah wisata skala Desa, pengelolaan tambang mineral bukan logam dan tambang batuan dengan tidak memakai alat berat, serta sumber lainnya dan tidak untuk dijualbelikan.
Bagian dari dana perimbangan yang diterima Pemda Kabupaten/Kota paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus yang selanjutnya disebut Alokasi Dana Desa.
Alokasi anggaran untuk Desa yang bersumber dari Belanja Pusat dilakukan dengan mengefektifkan kegiatan yang berbasis Desa secara merata dan berkeadilan.
10.Pembangunan Desa dan Kawasan Perdesaan
Pembangunan Desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa dan kualitas hidup insan serta penanggulangan kemiskinan melalui penyediaan pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan masukana dan pramasukana, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta memanfaatkan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Untuk itu, Undang-Undang ini memakai 2 (dua) pendekatan, yaitu 'Desa membangun' dan 'membangun Desa' yang diintegrasikan dalam perencanaan Pembangunan Desa.
Sebagai konsekuensinya, Desa menyusun perencanaan pembangunan sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu pada perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota. Dokumen planning Pembangunan Desa ialah satu-satunya dokumen perencanaan di Desa dan sebagai dasar penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Perencanaan Pembangunan Desa diselenggarakan dengan mengikutsertakan masyarakat Desa melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa. Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa memutuskan prioritas, program, kegiatan, dan kebutuhan Pembangunan Desa yang didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, swadaya masyarakat Desa, dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota berdasarkan penilaian terhadap kebutuhan masyarakat Desa. Pembangunan Desa dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dan masyarakat Desa dengan semangat gotong royong serta memanfaatkan kearifan lokal dan sumber daya alam Desa. Pelaksanaan kegiatan sektor yang masuk ke Desa diinformasikan kepada Pemerintah Desa dan diintegrasikan dengan planning Pembangunan Desa. Masyarakat Desa berhak mendapatkan informasi dan melaksanakan pemantauan terkena planning dan pelaksanaan Pembangunan Desa.
Sejalan dengan tuntutan dan dinamika pembangunan bangsa, perlu dilakukan pembangunan Kawasan Perdesaan. Pembangunan Kawasan Perdesaan ialah perpaduan pembangunan antar-Desa dalam satu Kabupaten/Kota sebagai upaya mempercepat dan meningkatkan kualitas pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat Desa di Kawasan Perdesaan melalui pendekatan pembangunan partisipatif. Oleh lantaran itu, rancangan pembangunan Kawasan Perdesaan dibahas bersama oleh Pemerintah, Pemda Provinsi, Pemda Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Desa.
11. Lembaga Kemasyarakatan Desa
Di Desa dibuat lembaga kemasyarakatan Desa, menyerupai rukun tetangga, rukun masyarakat, training kesejahteraan keluarga, karang taruna, dan lembaga pemberdayaan masyarakat atau yang disebut dengan nama lain. Lembaga kemasyarakatan Desa bertugas memmenolong Pemerintah Desa dan ialah kawan dalam memberdayakan masyarakat Desa.
Lembaga kemasyarakatan Desa berfungsi sebagai wadah partisipasi masyarakat Desa dalam pembangunan, pemerintahan, kemasyarakatan, dan pemberdayaan yang mengarah terwujudnya demokratisasi dan transparansi di tingkat masyarakat serta membuat saluran supaya masyarakat lebih berperan aktif dalam kegiatan pembangunan.
12. Lembaga Adat Desa
Kesatuan masyarakat aturan tabiat yang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia ialah sentra kehidupan masyarakat yang bersifat mandiri. Dalam kesatuan masyarakat aturan tabiat tersebut dikenal adanya lembaga tabiat yang sudah tumbuh dan berkembang di dalam kehidupan masyarakatnya. Dalam eksistensinya, masyarakat aturan tabiat mempunyai wilayah aturan tabiat dan hak atas harta kekayaan di dalam wilayah aturan tabiat tersebut serta berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus, dan menuntaskan aneka macam permasalahan kehidupan masyarakat Desa berkaitan dengan tabiat istiadat dan aturan tabiat yang berlaku. Lembaga tabiat Desa ialah kawan Pemerintah Desa dan lembaga Desa lainnya dalam memberdayakan masyarakat Desa.
13. Ketentuan Khusus
Khusus bagi Provinsi Aceh, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat, Pemda Kabupaten/Kota dalam memutuskan kebijakan terkena pengaturan Desa di samping memperhatikan ketentuan dalam Undang-Undang ini juga memperhatikan:
a. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 wacana Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana sudah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 wacana Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 wacana Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 wacana Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang; dan
b. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 wacana Pemerintahan Aceh.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Desa yang berkedudukan di wilayah Kabupaten/Kota dibuat dalam sistem pemerintahan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 6
Ketentuan ini untuk mencegah terjadinya tumpang tindih wilayah, kewenangan, duplikasi kelembagaan antara Desa dan Desa Adat dalam 1 (satu) wilayah maka dalam 1 (satu) wilayah spesialuntuk terdapat Desa atau Desa Adat.
Untuk yang sudah terjadi tumpang tindih antara Desa dan Desa Adat dalam 1 (satu) wilayah, harus dipilih salah satu jenis Desa sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "perubahan status" ialah perubahan dari Desa menjadi kelurahan dan perubahan kelurahan menjadi Desa serta perubahan Desa Adat menjadi Desa.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "penetapan Desa Adat" ialah penetapan kesatuan masyarakat aturan tabiat dan Desa Adat yang sudah ada untuk yang pertama kali oleh Kabupaten/Kota menjadi Desa Adat dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal 8
Ayat (1)
Pembentukan Desa sanggup berupa:
a. pemekaran dari 1 (satu) Desa menjadi 2 (dua) Desa atau lebih;
b. penggabungan bab Desa dari Desa yang bersanding menjadi 1 (satu) Desa; atau
c. penggabungan beberapa Desa menjadi 1 (satu) Desa baru.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 9
Yang dimaksud dengan "program nasional yang strategis" ialah antara lain kegiatan pembuatan waduk atau bendungan yang mencakup seluruh wilayah Desa.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota" ialah termasuk untuk mempersembahkan dana purnatugas (pesangon) bagi Kepala Desa dan perangkat Desa yang diberhentikan sebagai jawaban perubahan status Desa menjadi kelurahan.
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "mengubah status kelurahan menjadi Desa" ialah perubahan status kelurahan menjadi Desa atau kelurahan sebagian menjadi Desa dan sebagian tetap menjadi kelurahan. Hal tersebut dilakukan dalam jangka waktu tertentu untuk menyesuaikan adanya kelurahan yang kehidupan masyarakatnya masih bersifat perdesaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 13
Yang dimaksud dengan "kawasan yang bersifat khusus dan strategis" menyerupai daerah terluar dalam wilayah perbatasan antarnegara, kegiatan transmigrasi, dan kegiatan lain yang dianggap strategis.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pembuatan peta batas wilayah Desa harus menyertakan instansi teknis terkait.
Pasal 18
Yang dimaksud dengan "hak asal usul dan tabiat istiadat Desa" ialah hak yang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 19
Huruf a
Yang dimaksud dengan "hak asal usul" ialah hak yang ialah warisan yang masih hidup dan prakarsa Desa atau prakarsa masyarakat Desa sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat, antara lain sistem organisasi masyarakat adat, kelembagaan, pranata dan aturan adat, tanah kas Desa, serta kesepakatan dalam kehidupan masyarakat Desa.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "kewenangan lokal berskala Desa" ialah kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desa yang sudah dijalankan oleh Desa atau bisa dan efektif dijalankan oleh Desa atau yang muncul lantaran perkembangan Desa dan prakasa masyarakat Desa, antara lain tambatan perahu, pasar Desa, tempat pemandian umum, saluran irigasi, sanitasi lingkungan, pos pelayanan terpadu, sanggar seni dan belajar, serta perpustakaan Desa, embung Desa, dan jalan Desa.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Huruf a
Yang dimaksud dengan "kepastian hukum" ialah asas dalam negara aturan yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "tertib penyelenggara pemerintahan" ialah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggara Pemerintahan Desa.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "tertib kepentingan umum" ialah asas yang menlampaukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "keterbukaan" ialah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif wacana penyelenggaraan Pemerintahan Desa dengan tetap memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "proporsionalitas" ialah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "profesionalitas" ialah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan instruksi etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf g
Yang dimaksud dengan "akuntabilitas" ialah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil simpulan kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa harus sanggup dipertanggungjawabankan kepada masyarakat Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf h
Yang dimaksud dengan "efektivitas" ialah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan yang dilaksanakan harus berhasil mencapai tujuan yang diinginkan masyarakat Desa.
Yang dimaksud dengan "efisiensi" ialah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan yang dilaksanakan harus sempurna sesuai dengan planning dan tujuan.
Huruf i
Yang dimaksud dengan "kearifan lokal" ialah asas yang menegaskan bahwa di dalam penetapan kebijakan harus memperhatikan kebutuhan dan kepentingan masyarakat Desa.
Huruf j
Yang dimaksud dengan "keberagaman" ialah penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang tidak boleh mendiskriminasi kelompok masyarakat tertentu.
Huruf k
Yang dimaksud dengan "partisipatif" ialah penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang mengikutsertakan kelembagaan Desa dan unsur masyarakat Desa.
Pasal 25
Penyebutan nama lain untuk Kepala Desa dan perangkat Desa sanggup memakai penyebutan di daerah masing-masing.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Jaminan kesehatan yang didiberikan kepada Kepala Desa diintegrasikan dengan jaminan pelayanan yang dilakukan oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Pemdiberitahuan Badan Permusyawaratan Desa kepada Kepala Desa wacana akan berakhirnya masa jabatan Kepala Desa tembusannya disampaikan kepada Bupati/Walikota.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "tokoh masyarakat" ialah tokoh keagamaan, tokoh adat, tokoh pendidikan, dan tokoh masyarakat lainnya.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Biaya pemilihan Kepala Desa yang dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota ialah untuk pengadaan surat suara, kotak suara, kelengkapan peralatan lainnya, honorarium panitia, dan biaya pelantikan.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Yang dimaksud dengan "terhitung semenjak tanggal pelantikan" ialah seseorang yang sudah dilantik sebagai Kepala Desa maka apabila yang bersangkutan mengundurkan diri sebelum habis masa jabatannya dianggap sudah menjabat satu periode masa jabatan 6 (enam) tahun.
Kepala Desa yang sudah menjabat satu kali masa jabatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 didiberi peluang untuk mencalonkan kembali paling usang 2 (dua) kali masa jabatan. Sementara itu, Kepala Desa yang sudah menjabat 2 (dua) kali masa jabatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 didiberi peluang untuk mencalonkan kembali spesialuntuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "berakhir masa jabatannya" ialah apabila seorang Kepala Desa yang sudah berakhir masa jabatannya 6 (enam) tahun terhitung tanggal peresmian harus diberhentikan. Dalam hal belum ada calon terpilih dan belum sanggup dilaksanakan pemilihan, diangkat penjabat.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "tidak sanggup melaksanakan kiprah secara berkelanjutan atau berhalangan tetap" ialah apabila Kepala Desa menderita sakit yang mengakibatkan, baik fisik maupun mental, tidak berfungsi secara normal yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter yang berwenang dan/atau tidak diketahui keberadaannya.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "tidak lebih dari 1 (satu) tahun" ialah 1 (satu) tahun atau kurang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "musyawarah Desa" ialah musyawarah yang diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa khusus untuk pemilihan Kepala Desa antarwaktu (bukan musyawarah Badan Permusyawaratan Desa), yaitu mulai dari penetapan calon, pemilihan calon, dan penetapan calon terpilih.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Masa jabatan Kepala Desa yang dipilih melalui Musyawarah Desa terhitung semenjak yang bersangkutan dilantik oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "Camat" ialah Camat atau yang disebut dengan nama lain.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Ayat (1)
Musyawarah Desa ialah lembaga pertemuan dari seluruh pemangku kepentingan yang ada di Desa, termasuk masyarakatnya, dalam rangka menggariskan hal yang dianggap penting dilakukan oleh Pemerintah Desa dan juga menyangkut kebutuhan masyarakat Desa.
Hasil ini menjadi pegangan bagi perangkat Pemerintah Desa dan lembaga lain dalam pelaksanaan tugasnya.
Yang dimaksud dengan "unsur masyarakat" ialah antara lain tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, perwakilan kelompok tani, kelompok nelayan, kelompok perajin, kelompok perempuan, dan kelompok masyarakat miskin.
Ayat (2)
Huruf a
Dalam hal penataan Desa, Musyawarah Desa spesialuntuk mempersembahkan pertimbangan dan masukan kepada Pemda Kabupaten/Kota.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "dilakukan secara demokratis" ialah sanggup diproses melalui proses pemilihan secara eksklusif dan melalui proses musyawarah perwakilan.
Ayat (2)
Masa keanggotaan Badan Permusyawaratan Desa terhitung semenjak tanggal pengucapan sumpah/janji.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Huruf a
Yang dimaksud dengan "meminta keterangan" ialah seruan yang bersifat informasi wacana penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, training kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat Desa, bukan dalam rangka laporan pertanggungjawabanan Kepala Desa.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Jaminan kesehatan yang didiberikan kepada Kepala Desa dan perangkat Desa diintegrasikan dengan jaminan pelayanan yang dilakukan oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sebelum kegiatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial menjangkau ke tingkat Desa, jaminan kesehatan sanggup dilakukan melalui kolaborasi Kabupaten/Kota dengan Badan Usaha Milik Negara atau dengan mempersembahkan kartu jaminan kesehatan sesuai dengan kemampuan keuangan daerah masing-masing yang diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "pendapatan orisinil Desa" ialah pendapatan yang berasal dari kewenangan Desa berdasarkan hak asal usul dan kewenangan skala lokal Desa.
Yang dimaksud dengan "hasil usaha" termasuk juga hasil BUM Desa dan tanah bengkok.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "Anggaran bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tersebut" ialah anggaran yang diperuntukkan bagi Desa dan Desa Adat yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota yang dipakai untuk membiayai penyelenggaran pemerintahan, pembangunan, serta pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan "lain-lain pendapatan Desa yang sah" ialah antara lain pendapatan sebagai hasil kolaborasi dengan pihak ketiga dan menolongan perusahaan yang berlokasi di Desa.
Ayat (2)
Bemasukan alokasi anggaran yang peruntukannya eksklusif ke Desa ditentukan 10% (sepuluh perseratus) dari dan di luar dana Transfer Daerah (on top) secara bertahap.
Anggaran yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dihitung berdasarkan jumlah Desa dan dialokasikan dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesusahan geografis dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan Desa.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Ayat (1)
Dalam penetapan belanja Desa sanggup dialokasikan insentif kepada rukun tetangga (RT) dan rukun masyarakat (RW) dengan pertimbangan bahwa RT dan RW walaupun sebagai lembaga kemasyarakatan, RT dan RW memmenolong pelaksanaan kiprah pelayanan pemerintahan, perencanaan pembangunan, ketertiban, dan pemberdayaan masyarakat Desa.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "tidak terbatas" ialah kebutuhan pembangunan di luar pelayanan dasar yang dibutuhkan masyarakat Desa.
Yang dimaksud dengan "kebutuhan primer" ialah kebutuhan pangan, sandang, dan papan.
Yang dimaksud dengan "pelayanan dasar" ialah antara lain pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "sumbangan" ialah termasuk tanah wakaf sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Ayat (1)
BUM Desa dibuat oleh Pemerintah Desa untuk mendayagunakan segala potensi ekonomi, kelembagaan perekonomian, serta potensi sumber daya alam dan sumber daya insan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa.
BUM Desa secara spesifik tidak sanggup disamakan dengan tubuh aturan menyerupai perseroan terbatas, CV, atau koperasi. Oleh lantaran itu, BUM Desa ialah suatu tubuh perjuangan bercirikan Desa yang dalam pelaksanaan kegiatannya di samping untuk memmenolong penyelenggaraan Pemerintahan Desa, juga untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Desa. BUM Desa juga sanggup melaksanakan fungsi pelayanan jasa, perdagangan, dan pengembangan ekonomi lainnya.
Dalam meningkatkan sumber pendapatan Desa, BUM Desa sanggup menghimpun tabungan dalam skala lokal masyarakat Desa, antara lain melalui pengelolaan dana bergulir dan simpan pinjam.
BUM Desa dalam kegiatannya tidak spesialuntuk berorientasi pada laba keuangan, tetapi juga berorientasi untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa. BUM Desa dibutuhkan sanggup mengembangkan unit perjuangan dalam mendayagunakan potensi ekonomi. Dalam hal kegiatan perjuangan sanggup berjalan dan berkembang dengan baik, sangat dimungkinkan pada saatnya BUM Desa mengikuti tubuh aturan yang sudah diputuskan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "pendampingan" ialah termasuk penyediaan sumber daya insan pendamping dan manajemen.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Penetapan kesatuan masyarakat aturan tabiat dan Desa Adat yang sudah ada ketika ini menjadi Desa Adat spesialuntuk dilakukan untuk 1 (satu) kali.
Pasal 97
Ketentuan ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu:
a. Putusan Nomor 010/PUU-l/2003 wacana Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2003 wacana Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 wacana Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam;
b. Putusan Nomor 31/PUU-V/2007 wacana Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2007 wacana Pembentukan Kota Tual Di Provinsi Maluku;
c. Putusan Nomor 6/PUU-Vl/2008 wacana Pengujian Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1999 wacana Pembentukan Kabupaten Buol, Kabupaten Morowali, dan Kabupaten Banggai Kepulauan; dan
d. Putusan Nomor 35/PUU-X/2012 wacana Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 wacana Kehutanan.
Pasal 98
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "penetapan Desa Adat" ialah penetapan untuk pertama kalinya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Ayat (1)
Perubahan status Desa Adat menjadi kelurahan harus melalui Desa, sebaliknya perubahan status kelurahan menjadi Desa Adat harus melalui Desa.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Huruf a
Yang dimaksud dengan "susunan asli" ialah sistem organisasi kehidupan Desa Adat yang dikenal di wilayah masing-masing.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "ulayat atau wilayah adat" ialah wilayah kehidupan suatu kesatuan masyarakat aturan adat.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 104
Yang dimaksud dengan "keberagaman" ialah penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat yang tidak boleh mendiskriminasi kelompok masyarakat tertentu.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Ayat (1)
Pemerintah dalam hal ini ialah Menteri Dalam Negeri yang melaksanakan training umum penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
Pemerintah Daerah Provinsi dalam hal ini ialah Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pemerintah dalam hal ini ialah Menteri Dalam Negeri yang melaksanakan pemberdayaan masyarakat.
Pemerintah Daerah Provinsi dalam hal ini ialah Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "pendampingan" ialah termasuk penyediaan sumber daya insan pendamping dan manajemen.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "pengawasan" ialah termasuk di dalamnya abolisi Peraturan Desa.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas
Huruf n
Cukup jelas.
Pasal 116
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sebelum Undang-Undang ini, yang diakui ialah Desa. Oleh lantaran itu, dengan berlakunya Undang-Undang ini didiberikan kewenangan kepada Pemda Kabupaten/Kota untuk menata kembali status Desa menjadi Desa atau Desa Adat dengan ketentuan tidak boleh menambah jumlah Desa.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5495


LINK DOWNLOAD UU NO. 6TAHUN 2014 TENTANG DESA



Tag : Berita
0 Komentar untuk "Download Uu Atau Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Perihal Desa"

Back To Top